Selasa, 03 September 2013

FREE TRIAL ONLINE TRADING SYSTEM

JOIN FREE TRIAL ONLINE TRADING SYSTEM - FREE EDUKASI SYSTEM - WEB BASE SYSTEM

* Ket lebih lanjut
email : tamy050903@gmail.com

Jumat, 14 Juni 2013

INFO JOIN FREE SOFTWARE ONLINE TRADING: IPO Semen Batu Raja dan Elektronik city

INFO JOIN FREE SOFTWARE ONLINE TRADING: IPO Semen Batu Raja dan Elektronik city: PT Semen Baturaja (Persero) Tbk berencana akan melakukan Penawaran Umum sebanyak - banyaknya sejumlah 2,...

IPO Semen Batu Raja dan Elektronik city

PT Semen Baturaja (Persero) Tbk berencana akan
melakukan Penawaran Umum sebanyak
-
banyaknya
sejumlah 2,337,678,500 saham Seri B atau setara dengan
23,76% dari modal ditempatkan dan disetor penuh dalam
Perseroan setelah Penawaran Umum Perdana Saham,
dengan nilai nominal Rp 100 setiap saham. Saham akan
d
itawarkan kepada Masyarakat dengan Harga Penawaran
sebesar Rp 500
Rp 685 setiap lembarnya. Jumlah
seluruh nilai Penawaran Umum adalah sebesar Rp 1.17
triliun
Rp 1.6 triliun.
Dana yang diperoleh dari hasil Penawaran Umum
setelah
dikurangi biaya
-
biaya
emisi saham, seluruhnya
akan digunakan oleh Perseroan untuk pembangunan
pabrik semen baru di Baturaja, Sumatera Selatan.
Pembangunan pabrik tersebut diperkirakan selesai pada
akhir tahun 2016 dan akan menghasilkan semen dengan
perkiraan kapasitas 1,850,000
ton semen per tahun.
Setelah pabrik tersebut mulai berjalan, produksi semen
Perseroan akan meningkat menjadi 3,850,000 ton semen
per tahun. Alokasi dana tersebut adalah 70% untuk
pembelian mesin dan peralatan utama, 25% untuk
pengadaan dan pengembangan la
han, dan 5% untuk
peralatan elektronik dan otomasi serta enjiniring dan
desain.
Penjualan perseroan untuk periode yang berakhir pada
tanggal 31
Desember 2012 tercatat sebesar Rp 1,097.68
miliar, meningkat sebesar Rp 47,403 juta atau 4.51%
dibandingkan den
gan tahun yang berakhir pada tanggal
31 Desember 2011 sebesar Rp 1,050.28 miliar. Hal ini
dikarenakan meningkatnya harga jual rata
-
rata semen
menjadi Rp 889,578 per ton semen atau naik 106.20% dari
tahun 2011.
Pertumbuhan CAGR perseroan dari tahun
2008
-
2012 adalah 8%. Hal ini sejalan dengan
meningkatnya gross, operating, dan profit margin
perseroan secara konsisten dalam 5 tahun terakhir

Senin, 01 April 2013

19 dari sekitar 46 Emiten Properti....

Berikut 19 dari sekitar 46 emiten properti yang telah menyampaikan laporan keuangan 2012 :
(source : detik.com)
1. PT Adhi Karya Tbk (ADHI)
    2012 : Rp.213 M
    2011 : Rp.182 M / ( Naik 17%)
2. PT. Agung Podomoro Land (APLN)
    2012 : Rp.841 M
    2011 : Rp.684 M / ( Naik 22.9%)
3. PT. Alam Sutera Realty Tbk ( ASRI )
    2012 : Rp.1.22 T
    2011 : Rp.602.74 M / ( Naik 102.41%)
4) PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE)
    2012: Rp 1,4 triliun (naik 38,61%)
    2011: Rp 1,01 triliun

5) PT Pakuwon Jati Tbk (PWON)
    2012: Rp 748 miliar (naik 115%)
    2011: Rp 347 miliar

6) PT Ciputra Property Tbk (CTRP)
    2012: Rp 319 miliar (naik 89,88%)
    2011: Rp 168 miliar

7) PT Ciputra Surya Tbk (CTRS)
    2012: Rp 274,32 miliar (naik 66,51%)
    2011: Rp 164,73 miliar.

8) PT Ciputra Development Tbk (CTRA)
    2012: Rp 589,10 miliar (naik 81,35%)
    2011: Rp 324,82 miliar

9) PT Cowell Development Tbk (COWL)
    2012: Rp 69 miliar (naik 109%)
    2011: Rp 33 miliar

10) PT Duta Pertiwi Tbk (DUTI)
    2012: Rp 613 miliar (naik 45,26%)
    2011: Rp 422 miliar

11) PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk (GMTD)
    2012: Rp 64 miliar (naik 30,61%)
    2011: Rp 49 miliar

12.) PT Wijaya Karya Tbk (WIKA)
    2012: Rp 505 miliar (naik 29,48%)
    2011: Rp 390 miliar

13) PT Total Bangun Persada Tbk (TOTL)
    2012: Rp 181 miliar (naik 47,15%)
    2011: Rp 123 miliar

14) PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA)
    2012: Rp 739 miliar (naik 171,69%)
    2011: Rp 272 miliar

15) PT Intiland Development Tbk (DILD)
    2012: Rp 181,40 miliar (naik 29,55%)
    2011: Rp 140,02 miliar

16) PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR)
    2012: Rp 1,06 triliun (naik 50%)
    2011: Rp 708 miliar

17) PT Modernland Realty Tbk (MDLN)
    2012: Rp 260,52 miliar (naik 251,37%)
    2011: Rp 74,14 miliar

18) PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP)
    2012: Rp 309,68 miliar (naik 29%)
    2011: Rp 240,22 miliar

19) PT Summarecon Agung Tbk (SMRA)
    2012: Rp 797,814 miliar (naik 103,51%)
    2011: Rp 392,019 miliar

Kamis, 14 Maret 2013

Analisis Saham Independen News

Posted: 14 Mar 2013 08:05 AM PDT
Penulis sudah mengamati saham Gajah Tunggal (GJTL) ini sejak lama, yaitu sejak sekitar 3.5 tahun lalu ketika harganya masih di 400-an. Ketika itu kinerja perusahaan ban yang masih satu grup dengan Mitra Adiperkasa (MAPI) ini mulai pulih kembali pasca babak belur dihajar krisis global 2008, dengan mencatat laba bersih Rp905 milyar di tahun 2009, dibanding rugi bersih Rp625 milyar di tahun sebelumnya. Kinerja yang apik tersebut kemudian berlanjut di periode-periode berikutnya, hingga saham GJTL juga terus naik hingga sempat menembus 3,400 di pertengahan tahun 2011 lalu. Namun sejak saat itu GJTL terus saja turun, dan sekarang sudah berada di posisi 2,150. Apakah itu karena kinerjanya sudah tidak bagus lagi? Mungkin nggak juga ya, soalnya hingga Kuartal III 2012, GJTL masih mencatatkan kenaikan laba bersih 31.4%, atau masih cukup baik, dan ROE-nya juga masih terjaga di level 20.4%.

PER GJTL pada harganya saat ini, kalau pake laporan keuangan terakhirnya tercatat 7.2 kali, alias relatif rendah, sehingga tentu saja cukup menarik apalagi trend-nya dalam sebulan terakhir tampak mulai naik lagi. Jadi bagaimana prospeknya? Dan yang paling penting sebelumnya, apa kira-kira yang menyebabkan GJTL ini turun terus sebelumnya? Jawabannya mungkin terkait policy perusahaan dalam mengelola utangnya.

Jadi begini ceritanya. Kalau kita pakai data tahun 2008 dimana ketika itu GJTL mengalami kerugian cukup besar, penyebabnya adalah beban bunga pinjaman yang membengkak seiring dengan pelemahan Rupiah terhadap US Dollar ketika itu, mengingat utang GJTL adalah dalam mata uang US$. Sejak dulu jumlah utang GJTL memang cukup besar, dan hingga kini pun masih demikian. Pada Kuartal III 2012, GJTL mencatat total kewajiban sebesar Rp7.2 trilyun, yang menjadikannya mencatat DER 1.4 kali. Lebih dari setengah total kewajibannya tersebut berasal dari utang obligasi euro bond senilai US$ 412.5 juta atau setara Rp4.0 trilyun. Obligasi tersebut diterbitkan pada Juli 2009, dan merupakan perpanjangan dari obligasi lama yang diterbitkan sebelumnya. Jadi simpelnya bisa dikatakan bahwa perusahaan lebih memilih untuk membayar utang lama dengan utang baru ketimbang melunasinya. Obligasi tahun 2009 tersebut dijadwalkan akan jatuh tempo pada Juli 2014 mendatang.

Tapi diluar utang obligasi, GJTL tidak memiliki utang lain yang mengandung bunga. GJTL memang sebelumnya punya utang ke Bank HSBC sebesar US$ 2 juta, namun utang tersebut sudah dilunasi pada Maret 2012 lalu.

Kembali ke utang obligasi. Seperti yang sudah diduga sebelumnya, GJTL membayar obligasi tahun 2009 tersebut dengan utang lagi. Pada Desember 2012 lalu, manajemen mengumumkan bahwa perusahaan menerbitkan obligasi baru senilai US$ 500 juta di Singapura, dimana dananya dipakai untuk membayar obligasi tahun 2009. Dari sisi efisiensi, tujuan dari penerbitan obligasi anyar tersebut cukup baik, yaitu untuk menekan biaya bunga. Kalau GJTL masih mempertahankan obligasi lamanya, maka perusahaan harus membayar bunga sebesar 8 – 10.25% per tahun hingga tahun 2014 mendatang. Sementara obligasi yang baru diterbitkan tadi, bunganya cuma 7.5% per tahun. Jadi dengan cara ini maka catatan laba bersih perusahaan di tahun 2013 nanti bisa menjadi lebih baik. Namun tetap saja, hal ini sepertinya direspon negatif oleh pasar.

Tapi jika GJTL baru mengumumkan soal penerbitan obligasi barunya pada Desember 2012, lalu kenapa sahamnya sudah merosot jauh sebelumnya? Kemungkinan itu karena pelemahan Rupiah terhadap US Dollar. Seperti yang anda ketahui, kurs Rupiah terus turun dalam setahun terakhir ini, dari sekitar Rp8,700 menjadi terakhir Rp9,703 per US$. Mengingat bahwa utang obligasi GJTL adalah dalam mata uang US$, maka pelemahan Rupiah tersebut bisa berarti bahwa nilai utang obligasi tersebut termasuk bunganya akan membengkak, sehingga laba bersih perusahaan bisa tertekan, mengingat GJTL memperoleh pendapatannya dalam mata uang Rupiah.

Kabar baiknya, GJTL tidak sepenuhnya memperoleh pendapatannya dalam Rupiah, melainkan 37% diantaranya dalam mata uang US$ (karena berasal dari penjualan ekspor). Selain itu peningkatan laba bersih GJTL masih cukup baik kok, yakni seperti yang sudah disebut diatas, 31.4%.

Terlepas dari polemik terkait utang obligasinya, GJTL merupakan perusahaan yang cukup bagus. Hingga Mei 2012, GJTL merupakan pemimpin di pasar ban bias dan ban sepeda motor, dengan pangsa pasar masing-masing 51 dan 50%. Untuk ban radial, GJTL adalah penguasa pasar ketiga setelah Bridgestone dan Dunlop. Tidak hanya sebagai produsen, GJTL juga memiliki unit usaha di bidang distribusi retail, yakni gerai ‘TireZone’, yang jumlahnya mencapai 56 gerai di seluruh Indonesia. Untuk pasar ekspor, produk ban GJTL sejauh ini sudah mampu menjangkau hingga 80 negara di seluruh dunia.

Logo TireZone, toko ban retail milik PT Gajah Tunggal, Tbk
Dan tahukah anda bahwa Sjamsul Nursalim, pemilik GJTL, juga memiliki perusahaan ban di Tiongkok sana dengan nama yang mirip-mirip dengan Gajah Tunggal? Perusahaan itu adalah GITI Tire, dengan lokasi pabriknya di Provinsi Fujian, Tiongkok, namun berkantor di Singapura (ini website-nya, www.giti.com). GITI ini masuk ke dalam daftar sepuluh besar perusahaan ban terbesar di dunia, dengan produk andalannya yang hampir sama persis dengan milik GJTL, yakni GT Radial. Sayangnya GITI tidak ditempatkan oleh sang pemilik dibawah GJTL, melainkan menjadi perusahaan yang sepenuhnya terpisah dengan GJTL. GJTL sendiri kalau pake data tahun 2008 lalu merupakan perusahaan ban terbesar nomor 28 di dunia, atau jauh lebih kecil dibanding dibanding saudaranya yang di Fujian tersebut.

Anyway, dalam hal ini penulis bisa katakan bahwa GJTL dikelola oleh juragan ban kelas dunia, dan makanya perusahaannya lumayan bagus dan punya nama besar. Saham GJTL sendiri 10% diantaranya dipegang oleh Michelin, produsen ban terkemuka asal Perancis, dan GJTL memang menjual sekitar 13% produk ban-nya kepada Michelin, dalam hal ini Michelin North America, Inc.

Lalu terkait pengembangan usaha, pada tahun 2012 lalu GJTL melakukan aksi korporasi penting dengan membeli lahan seluas 100 hektar di kawasan industri di Karawang, Jawa Barat, senilai US$ 108 juta. Sekitar 60% dari lahan tersebut digunakan untuk sirkuit uji coba ban (proving ground), dan sisanya untuk didirikan pabrik baru. Seluruh proyek tersebut direncanakan akan selesai tahun 2014 mendatang. Diluar itu, GJTL secara bertahap meluncurkan dua produk anyar yaitu ban sepeda motor merk ‘Zeneos’, dan ban TBR (Truck and Bus Radial), sehingga GJTL nantinya akan memiliki produk ban yang lebih terdiversifikasi.

Jadi kesimpulannya? Yap, GJTL ini menarik terutama karena harganya yang lagi diobral. Terkait penerbitan obligasinya, kalau kita mempertimbangkan tujuannya yaitu untuk menghemat biaya bunga, maka sebenarnya itu justru bagus dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, mengingat DER GJTL yang tercatat 1.4 kali tadi tentunya juga tidak terlalu buruk. Dan dengan mempertimbangkan nama besarnya sebagai produsen ban lokal nomer satu di Indonesia, PBV yang wajar bagi GJTL adalah 2.0 kali, dan itu berarti harga 2,900. Well, mungkin GJTL tidak akan bisa langsung naik ke posisi tersebut dalam waktu dekat ini, apalagi IHSG juga kelihatannya mulai batuk batuk. Tapi kalau posisi 2,400 – 2,500, maka itu masih masuk akal.

Hanya saja waktu yang tepat untuk masuk ke saham ini adalah jika nanti laporan keuangan perusahaan untuk Tahun Penuh 2012 sudah keluar, terutama jika kinerjanya terbarunya tersebut masih bagus seperti kuartal sebelumnya. Kalau mau masuk dari sekarang? Well, gunakan dana kecil saja dulu, dan jangan lupa untuk cut loss jika GJTL ini turun lebih rendah dari 2,000. Secara fundamental, sebenarnya GJTL kecil kemungkinannya untuk turun menembus 2,000, tapi tidak ada salahnya kita jaga-jaga, mengingat kurs Rupiah juga masih belum stabil.

NB: Penulis membuat buku elektronik (ebook) yang berisi kumpulan analisis saham. Anda bisa memperolehnya disini.
Posted: 13 Mar 2013 07:44 PM PDT
Beberapa tahun lalu, tepatnya awal tahun 2010, Grup MNC yang kala itu masih bernama Grup Bhakti, menggemparkan bursa saham dengan mengumumkan bahwa mereka, melalui salah satu perusahaannya yakni Bhakti Investama (BHIT), berencana untuk masuk ke sektor natural resources, dengan cara mengakuisisi tambang minyak di Papua. Karena pengumuman tersebut, saham BHIT seketika melejit dari posisi 200 hingga sempat menembus level 1,000, hanya dalam tempo dua bulan (Januari - Maret 2012). Dalam tempo dua bulan itulah, hampir semua orang di market membicarakan tentang fenomena saham BHIT, dan sebagian lagi merayakan euforia karena untung besar dari saham tersebut. Sayang, seiring dengan tidak adanya kelanjutan dari proses dari akuisisi tambang minyak tersebut, saham BHIT kemudian anjlok besar-besaran, dan terus anjlok hingga sempat menyentuh level 105, atau sudah jauh lebih rendah ketimbang posisi sebelum kenaikannya (200). Meski saat ini BHIT memang sudah berada di posisi 500-an, namun ketika itu tidak sedikit investor yang pada akhirnya melontarkan sumpah serapah terhadap saham ajaib ini.

Namun disini kita tidak akan membicarakan mengenai pergerakan saham BHIT ketika itu, melainkan manuver dari sang Tsar: Hary Tanoesoedibjo. Pada waktu itu, ketika dikatakan bahwa BHIT berniat untuk masuk ke sektor tambang, maka hal itu memang bukan isapan jempol, melainkan Mr. Hary memang punya rencana pengembangan usaha ke arah sana, setelah sebelumnya cukup sukses di bisnis media melalui Media Citra Nusantara (MNCN) dkk, dan bisnis finance melalui Bhakti Capital (BCAP). Sayang, sepertinya rencana tersebut gagal, dimana Grup MNC tidak berhasil mengakuisisi tambang minyak yang dimaksud. BHIT kemudian hanya berhasil mengakuisisi dua buah tambang batubara, masing-masing berlokasi di Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan. Namun hingga saat ini, atau sudah lewat lebih dari 3 tahun, tambang batubara tersebut sama sekali masih belum menghasilkan pendapatan. Hingga Kuartal III 2012, BHIT mencatat pendapatan Rp7.0 trilyun, dimana dari jumlah tersebut tidak ada sepeserpun yang berasal dari usaha tambang batubara.

Meski cerita soal tambang minyak BHIT diatas, yang kemudian diganti dengan tambang batubara, berakhir dengan sad ending, namun itu tidak mencegah Grup MNC untuk berekspansi lagi, atau setidaknya itulah yang diperhatikan oleh publik. Setelah sempat vakum sepanjang tahun 2011 - 2012 lalu, akhir-akhir ini Grup MNC (melalui BHIT) banyak dikabarkan akan melakukan beberapa aksi korporasi penting. Berikut diantaranya:
  1. Akuisisi bank. Manajemen BHIT mengklaim bahwa mereka sedang dalam tahap negosiasi dengan pemilik sebuah bank devisa berukuran menengah. Akuisisi ini merupakan kelanjutan dari ekspansi Grup MNC di bidang finance, setelah sebelumnya mereka berhasil mengakuisisi sebuah perusahaan asuransi. Namun mereka belum bersedia menyebutkan nama bank tersebut.
  2. Melanjutkan akuisisi tambang-tambang batubara, tidak hanya di Kalimantan namun juga di daerah-daerah lainnya jika ada kesempatan.
  3. Di bidang media, saat ini yang sedang digenjot adalah layanan televisi berbayar (Indovision, dll), yang ditempatkan dibawah MNC Sky Vision (MSKY). MSKY sendiri sudah sukses melantai di bursa sejak Juli 2012 lalu.
Diluar itu, Mr. Hary juga melakukan banyak kegiatan yang tidak dilakukannya melalui perusahaan-perusahaannya yang listing di bursa, entah itu BHIT ataupun lainnya. Diantaranya:
  1. Terjun ke politik. Awalnya Mr. Hary gabung ke Nasdem, tapi kemudian pindah ke Hanura. Belakangan konglomerat muda ini mendirikan ormas-nya sendiri, yakni Persatuan Indonesia atau Perindo. Ormas ini direncanakan akan menjadi partai politik dan bisa ikut Pemilu tahun 2019 mendatang.
  2. Menjalin kerjasama dengan Grup Bakrie. Mr. Hary merupakan aktor yang sangat berperan ketika Bakrie berhasil mengalahkan Nathaniel Rothschild pada RUPS Bumi Plc di London, 21 Februari lalu. Berkat kemenangan tersebut, Bakrie berhasil mengambil kembali Bumi Resources (BUMI), meski belakangan Nathaniel kembali mendeklarasikan bahwa perang perebutan BUMI masih belum selesai.
  3. Masih dengan Grup Bakrie, Mr. Hary mengambil alih salah satu aset strategis milik Grup Bakrie, yakni Bakrie Toll Road (BTR), senilai kurang lebih Rp3 trilyun. Namun belum jelas akan diletakkan dimana BTR ini, atau malah mungkin akan IPO sendiri.
  4. Setelah BTR, isu yang berkembang menyebutkan bahwa Mr. Hary juga akan mengambil alih Visi Media Asia (VIVA), perusahaan media-nya Grup Bakrie. Jika akuisisi ini terealisasi, maka Mr. Hary bisa menjadi Rupert Murdoch-nya Indonesia.
Nah, yang menarik untuk disimak adalah keputusan dari eks anak didik Anthoni Salim ini untuk terjun ke politik: Kira-kira apa tujuannya? Tapi apapun itu, manuver Mr. Hary di bidang politik ini terbilang sangat cepat. Belum genap setahun sejak ia masuk ke Nasdem, eh sekarang malah sudah bisa bikin ormas sendiri. Disisi lain, seiring dengan mengemukanya berbagai rencana korporasi dari perusahaan-perusahaannya yang terdaftar di BEI, saham-saham Grup MNC seperti BHIT, MNCN, BMTR, hingga yang gak jelas seperti IATA, BCAP, hingga KPIG, semuanya naik gila-gilaan. Well, kita tahu bahwa ketika mantan pimpinan Grup Bakrie, Aburizal Bakrie, memutuskan untuk terjun ke politik sejak tahun 2004 lalu, Grup Bakrie tidak lantas meredup namun justru semakin melebarkan sayapnya kemana-mana. Namun itu karena pengganti Ical di Grup Bakrie, yaitu Nirwan, tidak kalah hebatnya dengan kakaknya tersebut. Sementara Mr. Hary? Dia sendirian dalam memegang Grup MNC, dan hingga saat ini masih berstatus sebagai pimpinan grup. Memang, Mr. Hary memiliki beberapa kerabat yang juga ditempatkannya di dalam perusahaan, seperti Bambang Tanoesoedibjo dan Liliana Tanaja, yang menjadi komisaris di BHIT. Namun secara keseluruhan, tidak ada seorangpun di Grup Bhakti yang bisa menggantikan peran Mr. Hary sebagai pimpinan tertinggi.

Masalahnya, sejak Republik ini berdiri sampai sekarang, belum pernah ada seorang pengusaha pun yang sukses sebagai politisi. Aburizal Bakrie? Juga sama saja. Meski Ical terbilang sangat sukses dalam mengembalikan kejayaan Grup Bakrie setelah dihantam badai krisis moneter 1998 lalu, namun setelah 9 tahun di dunia politik, ia tetap belum berhasil meraih pencapaian apapun. Malah yang ada elektabilitas Partai Golkar terus saja turun, termasuk gagal total di beberapa Pilkada akhir-akhir ini. Berbagai upaya yang dilakukan, termasuk memperkenalkan istilah ARB sebagai inisial namanya, juga tidak berhasil meningkatkan popularitasnya untuk bisa menjadi calon Presiden RI. Terakhir, beberapa sesepuh Golkar seperti Akbar Tanjung dan Jusuf Kalla, juga dikabarkan mulai gerah terhadap Ical, dan berencana untuk turun gunung. Anyway, kita tonton saja kelanjutannya.

Sementara Hary Tanoe? Di bidang bisnis, dia belum sehebat dan sebesar Bakrie. Wajar, karena Grup MNC juga baru berdiri sejak awal tahun 1990-an lalu, dan ini berbeda dengan Keluarga Bakrie yang sudah menjadi konglomerat sejak jaman Jepang dulu (tahun 1950-an). Berbagai upaya ekspansi yang dilakukan juga belum membuahkan hasil atau bahkan gagal, seperti yang sudah diutarakan diatas, namun itu tidak mencegahnya untuk mencoba peruntungan di dunia yang sama sekali belum pernah ia masuki sebelumnya. Okay, let sey ternyata Mr. Hary bisa sukses di politik dalam 2 - 3 tahun mendatang, atau bahkan bisa mencalonkan diri sebagai Presiden. Tapi jika itu terjadi, maka bagaimana dengan perusahaan-perusahaannya? Apakah ia sanggup mengurus Partai namun dengan tetap fokus pada bisnis? Karena kalau kita pakai contoh Gita Wirjawan, misalnya, pengusaha sekaligus pemilik Grup Ancora ini gagal total di usahanya (itu bisa dilihat dari kinerja Ancora Indonesia Resources/OKAS yang rugi terus belakangan ini), justru setelah kariernya di Pemerintahan melenggang mulus (sekarang beliau sudah jadi Menteri Perdagangan). Karier Mr. Gita di bidang bisnis pada saat ini boleh dibilang sudah ketinggalan jauh dibanding beberapa pengusaha seangkatannya, salah satunya Patrick Walujo. Padahal Mr. Gita sama sekali belum ikut-ikutan partai lho.

Namun Mr. Hary tentu berbeda dengan Gita. Mr. Hary juga cukup cerdas dengan tidak melenggang sendirian di dunia politik, melainkan berkongsi dengan beberapa politisi yang lebih senior (Dengan Surya Paloh, dan sekarang dengan Jendral Wiranto, pimpinan Partai Hanura, dan juga Yusril Ihza Mahendra. Belakangan dikabarkan Mr. Hary juga sedang pedekate dengan Anas Urbaningrum). Mungkin Mr. Hary juga punya tujuan yang sama ketika ia memutuskan untuk membantu Bakrie dalam pertarungannya melawan Nathaniel Rothschild, yaitu agar ia memiliki partner yang cukup kuat dalam menjalankan bisnisnya, karena dengan posisinya saat ini, ia tidak bisa sepenuhnya fokus pada mengelola perusahaan saja.

At the end, a man can be anythin he wants, as long as he has the vision. Pertanyaannya kemudian, apa sebenarnya visi dari seorang Hary Tanoe? Memberantas korupsi? Meningkatkan kesejahteraan rakyat? Well, kalaupun itu bisa dilakukan, lantas apa untungnya?
Posted: 06 Mar 2013 05:57 PM PST
Beberapa hari terakhir ini di media-media baik cetak maupun elektronik, sedang ramai dibicarakan kasus dugaan penipuan investasi oleh PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS), dengan perkiraan nilai kerugian nasabah hingga Rp600 milyar, tapi ada juga yang bilang hingga Rp10 trilyun. Manapun yang benar, tetap saja itu adalah jumlah kerugian yang tidak sedikit. Namun kasus ini adalah yang kesekian kalinya terjadi di negeri ini, dengan modus yang selalu sama: Penipuan berkedok investasi dengan iming-iming keuntungan besar dalam waktu singkat. Nah, actually kasus ini tidak berkaitan langsung dengan investasi kita di saham, tentu saja, namun penulis kira tetap penting untuk dibahas untuk memberikan informasi kepada masyarakat yang mungkin masih awam tentang apa itu investasi. Okay here we go!

GTIS dulunya merupakan perusahaan jual beli emas biasa dengan nama PT Golden Traders Indonesia (GTI). Pada tahun 2011, perusahaan menambahkan kata ‘Syariah’ di belakang namanya, sehingga berubah menjadi PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS). Di tahun ini pula, perusahaan (mengaku) memperoleh sertifikat ‘telah memenuhi prinsip syariah’ dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berbekal klaim bahwa usahanya ‘halal dan islami’, GTIS kemudian memasarkan produk investasinya melalui berbagai media, terutama melalui sistem referral yaitu setiap nasabah akan diminta untuk mencari nasabah lagi (kurang lebih seperti sistem Multilevel Marketing alias MLM). Dalam tempo singkat yakni hanya 2 tahun, perusahaan ini berkembang sangat pesat dan berhasil mendirikan tiga belas kantor yang tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, terutama Jakarta. Dalam setiap promosinya, GTIS memiliki tagline yang sangat menarik: ‘Udah gak jaman investasi emas hanya mengandalkan fluktuasi harga. Nikmati kepastian keuntungan sebesar 2% setiap bulan hanya di Golden Traders Indonesia’.

Kepastian keuntungan? Are you out of mind? Sejak kapan ada investasi yang mampu menjamin bahwa investasi tersebut pasti untung tanpa memaparkan risikonya sama sekali?

Kembali ke GTIS. GTIS menawarkan produk investasi berupa pembelian emas, baik fisik maupun hanya berupa sertifikat, dengan tawaran keuntungan sebesar 2 – 4.5% per bulan, dibayarkan secara tunai.  Jadi kalau anda beli produk investasinya senilai Rp100 juta, misalnya, maka setiap bulan anda akan menerima bunga, atau bonus, atau apapun itu namanya, sebesar Rp2 – 4.5 juta, ditransfer langsung ke rekening bank anda. Produk investasi ini dijamin dengan surat perjanjian buy back guarantee, dimana pihak GTIS akan membeli kembali emas yang dipegang nasabah dengan harga yang sama dengan harga pembelian. So, katakanlah anda membeli emas dari GTIS senilai Rp100 juta. Maka dalam setahun, anda akan memperoleh bunga minimal Rp2 juta x 12 bulan = Rp24 juta, dan setelahnya anda bisa menjual emas yang anda pegang kepada GTIS, untuk memperoleh modal anda kembali yang sebesar Rp100 juta tadi. Well, dapet keuntungan minimal 24%, dan tanpa risiko pula, karena emas yang anda pegang dijamin akan bisa dibeli kembali oleh pihak GTIS. Jadi ‘investasi’ ini kurang menarik apa lagi coba?

Namun ada beberapa hal yang menarik seputar ‘produk investasi’ yang ditawarkan GTIS ini:

Satu. Nasabah harus membeli emas yang dijual GTIS pada harga yang lebih tinggi ketimbang harga emas pasaran, dengan selisih harga sekitar 20 – 30%. Artinya jika harga emas di pasaran adalah Rp500,000 per gram, maka nasabah harus membayar Rp600 – 650,000 untuk setiap gram emas yang mereka peroleh. Tidak ada keterangan dari pihak GTIS soal kenapa harga emas yang mereka jual lebih tinggi. Biasanya mereka (melalui agen-nya) hanya mengatakan bahwa meski harga emas yang mereka jual lebih tinggi, namun nasabah tidak perlu khawatir, karena nanti toh GTIS akan membeli kembali emas tersebut pada harga yang sama, bahkan kalau harga pasaran emas ternyata turun. Selain itu si agen biasanya menambahkan bahwa harga emas akan naik terus, sehingga si nasabah tidak mungkin rugi (jadi sekali lagi, risiko investasinya nol!)

Dua. Tidak ada keterangan dari mana pihak GTIS memperoleh dana untuk membayar bunga bagi para nasabahnya. Berdasarkan informasi yang dihimpun Kontan.co.id, GTIS mengaku bahwa mereka membeli emas dengan harga murah dari UBS (Untung Bersama Sejahtera) dan menjualnya di Singapura dengan harga tinggi. Keuntungan dari selisih harga itulah yang kemudian dipakai untuk membayar bunga kepada para nasabah. Tapi tidak ada keterangan lebih lanjut soal siapa itu UBS, dan di Singapura sebelah mana mereka jualan emas.

Tiga. Nasabah hanya bisa membeli produk melalui agen. Agen ini biasanya merupakan nasabah GTIS juga, dan ia memperoleh komisi untuk setiap nasabah baru yang ia bawa. Alhasil jika anda bergabung untuk menjadi nasabah, maka anda sekaligus akan menjadi agen, dan anda bisa memperoleh keuntungan tambahan berupa komisi tadi. Tapi kalaupun anda tidak memperoleh nasabah, maka itu tidak jadi masalah.

Nah, dari ketiga poin diatas, apa yang bisa anda simpulkan? Benar sekali. GTIS ini menjalankan Skema Ponzi (Ponzi Scheme). Skema Ponzi adalah sistem investasi palsu dimana perusahaan investasi membayar keuntungan/bunga kepada investor dari uang si investor itu sendiri, atau dari uang investor berikutnya. Dikatakan palsu, karena dana yang dihimpun dari investor tidak pernah digunakan untuk membiayai usaha tertentu untuk menghasilkan keuntungan. Biasanya investasi ini menawarkan keuntungan yang luar biasa dalam waktu singkat dengan risiko yang sangat rendah, atau bahkan risikonya nol. Biasanya pula, si investor atau nasabah akan menerima pembayaran bunga secara rutin selama beberapa waktu, sehingga ia kemudian merasa tidak ada masalah sama sekali, atau bahkan menambah kembali investasinya. Tapi setelah ia menyetor seluruh dana yang ia miliki, dan juga sudah membawa banyak nasabah baru, maka barulah timbul masalah, mulai dari macetnya pembayaran bunga, hingga modal yang ternyata tidak bisa ditarik kembali.

Charles Ponzi, pencipta skema Ponzi sekaligus inspirator bagi para bandi-bandit penipu
di seluruh dunia. Gambar diambil dari situs Wikipedia

Ending dari kejadian seperti ini biasanya berupa lenyapnya modal yang ditanamkan para nasabah, karena dilarikan oleh Direktur atau siapapun dari perusahaan investasi (atau koperasi, atau apapun namanya) yang bersangkutan. Penjahat paling terkenal dari kasus penipuan seperti ini adalah Bernard Madoff, mantan Chairman Bursa NASDAQ, dan saat ini sudah dipenjara dengan masa hukuman 150 tahun.

Sementara di Indonesia, penipuan Skema Ponzi ini bukan kasus baru, melainkan sudah terjadi berulang kali hanya dengan kemasan yang berbeda-beda. Sebut saja Tambang Emas Busang, Qurnia Subur Alam Raya, Dressel, VGMC, Koperasi Langit Biru, Raihan, hingga GTIS. Dalam kasus GTIS, ‘kemasan’ tersebut adalah investasi emas. Bunga yang dibayarkan kepada si nasabah berasal dari selisih harga emas yang lebih tinggi dibanding harga pasaran tadi.

Definisi Investasi

Dalam beberapa kali kesempatan seminar, penulis selalu memaparkan kepada peserta mengenai definisidari investasi. Simpelnya, investasi dapat dikelompokkan menjadi dua jenis:

Satu, investasi pada aset tetap. Yang dimaksud dengan aset tetap adalah aset yang harganya terus meningkat untuk menyesuaikan diri dengan inflasi, namun nilaidari aset itu sendiri sebenarnya tidak banyak berubah kecuali sedikit. Contohnya anda membeli tanah kosong seluas 1 hektar dengan harapan bahwa harganya akan naik dalam beberapa waktu kedepan. Sejatinya, nilai dari tanah tersebut tidak akan naik, terutama jika tidak dilakukan pengembangan (dibuat bangunan diatasnya, dll). Namun jika anda beli tanah tersebut pada tahun 1990 pada harga Rp100 juta, misalnya, maka harganya pada hari ini tidak mungkin masih Rp100 juta juga, melainkan mungkin sudah milyaran.

Dalam definisi investasi yang lebih sempit, maka tindakan investasi dengan cara membeli tanah diatas tidak bisa disebut sebagai investasi, melainkan lebih merupakan tindakan melindungi mata uang dari inflasi. Jika tanah yang bersangkutan dikembangkan menjadi rumah kontrakan, misalnya, dan rumah kontrakan tersebut memberikan keuntungan berupa uang sewa setiap bulannya, maka itu baru bisa disebut sebagai investasi, karena aset tanah/rumah kontrakan tersebut kini memberikan ‘dividen’ berupa uang sewa bulanan tadi. But still, inipun belum merupakan ‘investasi penuh’, karena tidak menawarkan kenaikan nilai aset(jumlah kamar kontrakan tidak akan bertambah), kecuali jika anda secara rutin membangun kamar kontrakan yang baru.

Lalu yang kedua, investasi pada aset bertumbuh. Jika anda membeli kambing untuk diternakkan (tentunya setelah anda menunjuk peternak yang handal), maka itu bisa disebut sebagai investasi pada aset bertumbuh, karena jumlah kambing anda akan meningkat seiring dengan berjalannya waktu (beranak pinak). Investasi seperti inilah yang menurut penulis bisa disebut sebagai The Real Investment, karena memberikan dua macam keuntungan yakni: Dividen (setiap kali anda memperoleh uang dari penjualan seekor kambing), dan kenaikan nilai aset (jumlah kambing anda akan terus bertambah). Tidak perlu lagi ditanyakan keuntungan dari kenaikan harga aset, karena harga jual dari kambing anda akan terus naik setiap tahun (ini pengalaman penulis sendiri setiap kali nyari kambing buat merayakan Idul Adha).

Meski demikian investasi anda pada usaha ternak kambing tersebut mengandung beberapa risiko yang bisa menyebabkan penurunan pada nilai investasi anda (baca: kerugian). Misalnya peternak yang anda tunjuk ternyata tidak cukup mahir, terjadi wabah penyakit yang menyebabkan cacat pada ternak atau bahkan kematian, kenaikan harga pakan, hingga penurunan harga jual kambing karena persaingan dengan peternakan lain. Intinya, dibalik potensi keuntungan yang mungkin diraih dalam investasi peternakan kambing diatas, terdapat unsur risiko yang tidak bisa diabaikan. Dan memang begitulah, faktor potensi keuntungan sekaligus risiko kerugian merupakan dua sisi mata uang yang tidak pernah bisa dipisahkan dalam setiap kegiatan berinvestasi, apapun bentuknya.

Unsur risiko yang kita bahas diatas juga terdapat dalam investasi pada aset tetap. Bedanya, dalam berinvestasi pada aset tetap, unsur risiko tersebut jauh lebih rendah meski bukan berarti tidak ada sama sekali. Ketika anda beli tanah, maka harganya tidak akan turun kecuali jika terjadi gempa bumi, banjir, atau krisis moneter, tapi disisi lain keuntungan yang ditawarkan juga hanya berupa kenaikan harga saja, dan anda tidak memperoleh kenaikan nilai ataupun kuantitas (Ketika anda beli tanah 1 hektar, misalnya, maka sampai kapanpun tanah itu akan tetap seluas 1 hektar dan gak akan bertambah menjadi 2 hektar. Ini berbeda dengan kambing tadi yang bisa beranak pinak menjadi puluhan bahkan ratusan ekor). Karena itulah investor yang sudah berpengalaman biasanya menempatkan investasinya pada dua macam aset, yakni aset tetap dan aset bertumbuh. Tujuannya selain untuk diversifikasi, juga untuk menekan risiko terjadinya kerugian (aset tetap), namun disisi lain dengan tetap mengejar keuntungan yang substansial (aset bertumbuh).

Investasi vs ‘Investasi’

Berdasarkan uraian diatas, maka yang dimaksud dengan investasi adalah kegiatan yang paling tidak memenuhi unsur-unsur berikut:

  1. Potensi keuntungan berupa dividen, bunga, atau laba
  2. Potensi keuntungan berupa kenaikan nilai aset, dan biasanya kenaikan harga juga
  3. Usaha yang jelas, dimana modal diputar di usaha tersebut untuk menghasilkan dua macam keuntungan diatas, dan
  4. Risiko kerugian.
Nah, balik lagi ke masalah GTIS diatas, menurut anda apakah itu bisa disebut sebagai investasi? Jelas tidak. ‘Produk Investasi’ yang ditawarkan GTIS tersebut memberikan dividen/bonus minimal 2% setiap bulannya, tapi tidak jelas dari mana pihak GTIS akan memperoleh dana untuk membayar bonus tersebut, selain juga tidak ada faktor risiko yang jelas (malah pake jaminan segala lagi, bahwa bunga yang 2% per bulan itu pasti dibayar, bullshit). Kalau anda baca lagi diatas, salah satu unsur dari kegiatan investasi adalah adanya potensi keuntungan, bukan kepastiankeuntungan. Bahkan jika anda membeli obligasi yang menawarkan bunga alias fixed income sekalipun, anda tetap saja menanggung risiko tidak memperoleh keuntungan apa-apa atau bahkan mengalami kerugian, jika si perusahaan ternyata tidak bisa membeli/menebus obligasi itu kembali.

Kembali ke GTIS, disisi lain kalau dikatakan bahwa produk investasi yang ditawarkan GTIS adalah investasi pada aset tetap (karena pake emas), lalu kenapa nasabah harus membeli emasnya pada harga yang jauh lebih tinggi ketimbang harga pasaran? Kalau gitu mending beli emas biasa aja ateuh, terus disimpen di brankas dan taroh brankasnya di loteng, beres!

(Btw, terkait membeli aset pada harga yang jauh lebih tinggi ketimbang harga pasaran atau harga normalnya, maka anda juga harus hati-hati dalam membeli aset tetap berupa tanah/properti, jika tujuannya adalah untuk investasi. Belakangan ini banyak sekali pengembang properti yang dengan sengaja menaik-naikkan harga properti yang mereka jual, untuk memberikan kesan bahwa pembeli pasti untung karena harga rumah/apartemen yang mereka beli naik terus. Namun kenaikan tersebut seringkali tidak wajar (tentu saja, namanya juga kenaikan yang dibuat-buat), sehingga sering kejadian si pembeli membeli properti yang bersangkutan pada harga yang kelewat mahal, dan akhirnya dia bukannya untung tapi malah rugi)

Anyway, kasus GTIS diatas, termasuk kasus-kasus penipuan investasi lainnya, memang akan selalu ada sampai kapanpun, selama orang-orang selalu tertarik untuk memperoleh keuntungan besar dalam waktu singkat. So, berikut adalah beberapa tips untuk melindungi anda agar tidak terjebak kasus penipuan yang sama:

Satu, hati-hati dengan tawaran keuntungan yang kelewat besar. Di Indonesia, persentase keuntungan yang wajar untuk investasi dalam bidang apapun, adalah antara 7 hingga 20% per tahun (kita tidak menghitung deposito disini, karena bunga 4.5% per tahun terlalu kecil untuk menutupi penurunan nilai Rupiah karena inflasi), termasuk bunga obligasi biasanya sekitar 10 - 12% per tahun. Okay, penulis tidak menutup fakta bahwa kalau investasi di saham, banyak juga investor yang mampu mencetak keuntungan yang jauh lebih tinggi dibanding 20% per tahun. Namun kalau kita pakai patokan kenaikan IHSG dalam jangka panjang, tepatnya sejak puncak krisis moneter tahun 1998 lalu dimana ketika itu IHSG jatuh ke posisi 276 sebagai titik terendahnya, maka rata-rata kenaikan IHSG dalam lima belas tahun terakhir (1998 – 2013, hingga posisi terbarunya saat ini yaitu 4,825) adalah 19.6% per tahun.

So, jika anda ditawari investasi dengan return yang jauh lebih besar dari 20% tadi, maka hati-hati karena itu kemungkinan merupakan investasi bodong. Karena sejauh yang penulis pelajari, tidak ada instrumen investasi yang menawarkan potensi gain yang lebih tinggi ketimbang investasi di saham (tapi disisi lain, investasi di saham juga merupakan investasi paling berisiko diantara investasi-investasi lainnya). Kalau 'investasi' di forex, bursa berjangka, dll, itu bukan investasi, melainkan trading (tapi di saham anda juga bisa trading kok, meski penulis sendiri lebih suka invest karena lebih santai).

Dua, hati-hati dengan tawaran investasi yang menjanjikan keuntungan/bonus/dividen/bunga yang akan dibayar dalam waktu singkat, dalam hal ini setiap bulan. Wajarnya, investasi jenis apapun menawarkan bagi hasil atau return setahun sekali, dan itu sebabnya perusahaan juga hanya membagi dividen setahun sekali kepada para pemegang saham, atau setahun dua kali untuk perusahaan yang sudah benar-benar mapan.

Tapi memang untuk beberapa jenis investasi ada sedikit perbedaan. Jika anda menabung di bank, bunga yang anda peroleh dibayarkan setiap bulan. Dan jika anda membeli obligasi, maka anda juga akan menerima bunga setiap tiga bulan. Tapi berapa sih bunga tabungan bank dan obligasi? Cuma 2 dan 12% per tahun. Artinya? Perusahaan (atau bank) bisa membayar bunga kepada anda dalam waktu singkat, jika nilai dari bunga itu sendiri sangat kecil. Sementara jika nilainya besar, katakanlah 24% per tahun seperti GTIS diatas, maka sangat tidak wajar jika bunga tersebut bisa dibayarkan setiap bulan.

Tapi GTIS itu tidak seberapa.. Penulis ingat dulu waktu jaman kuliah juga pernah ditawari investasi yang menjanjikan keuntungan yang dibayar tiap minggu, bahkan tiap hari! Sempet percaya juga, tapi untungnya ketika itu penulis gak jadi bergabung karena memang gak punya duitnya.

Tiga, hati-hati dengan tawaran investasi tanpa penjelasan yang mendetail bahwa uang anda akan diputar di usaha apa, termasuk tidak ada penjelasan mengenai risiko kerugian. Tawaran investasi apapun yang hanya fokus pada potensi keuntungan yang akan diterima oleh calon investor, namun tidak ada penjelasan mengenai jenis dan risiko usaha, apalagi sampai menjamin bahwa investasinya pasti untung, maka itu sudah pasti merupakan penipuan. You know, investasi model apapun selalu ada risikonya, termasuk jika anda naruh uang di deposito pun juga ada risikonya, yaitu jika bank yang bersangkutan sewaktu-waktu kolaps (makanya kemudian ada Lembaga Penjamin Simpanan/LPS, tapi itupun hanya bisa menjamin dana nasabah bank sebesar maksimal Rp2 milyar). Jadi jika ada kenalan yang menghampiri anda kemudian mengatakan, ‘Bro, ada peluang investasi nih, dijamin untung! Mau nggak?’ Maka sudah pasti ia berniat menipu anda, entah disengaja ataupun tidak.

Ada lagi? Nggak, cuma tiga itu saja kok. Satu lagi nasihat yang bagus agar anda terhindar dari kasus penipuan seperti ini adalah, ingat bahwa something that is too good to be true, is typically not true at all. Tapi penulis yakin anda sudah sering mendengar kalimat tersebut.

Investasi di Saham

Lalu bagaimana dengan investasi di saham? Pada dasarnya, investasi di saham adalah investasi pada aset bertumbuh: Anda membeli saham dengan harapan bahwa nilai aset anda akan naik seiring dengan kenaikan nilai perusahaan yang tercermin pada kenaikan harga sahamnya, plus keuntungan berupa bagian laba bersih yang dihasilkan perusahaan (dividen). Kenaikan nilai perusahaan biasanya berasal dari laba bersih ditahan (retained earnings) yang digunakan untuk menambah modal untuk ekspansi usaha, misalnya bikin kantor cabang baru, mendirikan pabrik baru, merekrut lebih banyak pegawai untuk meningkatkan produksi, dll. Kenaikan nilai perusahaan (yang kemudian tercermin pada kenaikan harga sahamnya) biasa disebut capital gain, dan merupakan sumber keuntungan utama bagi para investor, karena keuntungan dari dividen biasanya sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah modal yang dikeluarkan (biasanya hanya 3% per tahun, kalau mencapai 6% maka sudah sangat bagus).

Namun jangan salah, ternyata di saham juga ada penipuan skema ponzi, meski mekanismenya tidak sepenuhnya sama dengan skema ponzi pada kasus GTIS diatas, yaitu: Sering kejadian harga saham dibuat melambung tinggi oleh pihak-pihak tertentu, sehingga investor/trader yang membelinya memperoleh keuntungan besar dalam waktu singkat, tapi bukan dari kenaikan nilai perusahaan, melainkan dari investor lain yang membeli saham tersebut kemudian. Artinya? Keuntungan yang diperoleh investor yang sudah membeli saham tersebut sejak dari awal, diperoleh dari kerugian yang diderita investor yang membeli belakangan. Saham model begini biasa disebut saham gorengan, dan dari dulu sampai sekarang dan mungkin sampai kapanpun, akan selalu ada saja saham-saham seperti ini.

Jadi bagaimana cara menghindari agar tidak terjebak ‘saham ponzi’ tersebut? Well, kita sudah membahasnya berkali-kali di website ini, coba anda search lagi artikelnya. Yang jelas tips dari penulis agar anda tidak terjebak ‘investasi saham bodong’ tersebut adalah: 1. Hindari spekulasi, 2. Berinvestasilah dengan akal sehat, jangan mudah tergiur oleh keuntungan instan, dan 3. Teliti sebelum membeli.

Yeah.. I know, tips-tips diatas mudah untuk dikatakan tapi susaaah sekali untuk di praktekkan. But well.. just try it, will you? Anyway, artikel ini sudah kelewat panjang, jadi kita lanjutkan lagi pekan depan.

NB: Penulis menyelenggarakan layanan konsultasi dan tanya jawab bagi anda investor/calon investor saham. Keterangan selengkapnya baca disini.
Posted: 28 Feb 2013 04:36 PM PST
Apa makanan pokok masyarakat di Indonesia? Jawabannya sudah pasti nasi, kecuali jika anda setuju dengan Menteri Pertanian kita yang menyuruh masyarakat untuk mengganti nasi dengan singkong (yang bener aja!). Lalu apa lauk nasi favorit semua orang? Percaya atau tidak, jawabannya adalah daging ayam, entah itu digoreng, dipanggang, dibikin sup, ataupun diolah menjadi sosis atau nugget. Yup, daging ayam adalah makanan kesukaan masyarakat Indonesia dari seluruh strata sosial, mulai dari buruh pabrik hingga si pemilik pabrik itu sendiri. Rasanya yang lezat serta harganya yang lebih terjangkau ketimbang jenis daging lainnya, menyebabkan permintaan akan daging ayam senantiasa meningkat dari waktu ke waktu, seiring dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk.


Karena bisnisnya memang menarik dan juga prospektif, maka tak heran jika perusahaan-perusahaan peternakan ayam (poultry) dan industri lainnya yang terkait hampir selalu mencatat kinerja yang cemerlang. Sebut saja Charoen Popkhand Indonesia (CPIN), Japfa Comfeed (JPFA), Malindo Feedmill (MAIN), hingga Multibreeder Adirama (MBAI). Beruntung bagi kita investor pasar saham, keempat perusahaan tersebut listing di BEI sehingga kita bisa beli sahamnya. Namun memang perusahaan yang disebut terakhir yaitu MBAI, baru-baru ini delisting dari bursa setelah diakuisisi oleh Japfa.

Tapi perusahaan ternak ayam yang listing di BEI gak cuma empat perusahaan diatas saja, melainkan masih ada satu lagi yaitu Sierad Produce (SIPD). Sayangnya seperti yang anda ketahui, SIPD ini entah kenapa kinerjanya terbilang buruk jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lain di sektor yang sama, sehingga alhasil, sahamnya pun gak pernah kemana-mana, melainkan cuma mondar mandir saja di level 50 – 60. Tadinya penulis sempat berpikir bahwa SIPD ini, meski bidang usahanya memang menarik namun mungkin perusahaannya hanya berstatus sebagai perusahaan kecil yang nggak jelas, sehingga wajar jika sahamnya berada di level gocapan. Namun faktanya, SIPD merupakan perusahaan yang cukup besar dengan aset Rp3.1 trilyun pada tanggal 30 September 2012, atau hampir satu setengah kali lebih besar ketimbang MAIN. Tapi anehnya laba bersih SIPD di periode Sembilan Bulan 2012 cuma Rp17 milyar, alias jauuu...uuh dibawah laba bersih MAIN di periode yang sama sebesar Rp267 milyar.

Jadi dimana letak masalahnya? Well, sebelum kita membahas itu, mari kita pelajari SIPD ini dari awal terlebih dahulu.

Logo Belfoods, salah satu merk produk olahan ayam milik Sierad Produce

SIPD didirikan di Jakarta pada tahun 1985, dengan bidang usahanya ketika itu ekspor dan impor pakan ternak. Perusahaan listing di BEI pada tahun 1996, dan menjadi besar pada tahun 2001 setelah menerima penggabungan (merger) beberapa perusahaan. Penggabungan tersebut, yang disusul oleh pengembangan-pengembangan usaha selanjutnya, menjadikan SIPD sebagai perusahaan ternak ayam yang terintegrasi. Pada saat ini SIPD boleh dikatakan memiliki semua jenis usaha di industri ternak ayam, mulai dari memproduksi peralatan ternak, pakan ternak, penetasan telur, ayam umur sehari (day old chicken/DOC), pembibitan dan pemeliharaan ayam hingga siap potong, rumah potong ayam, hingga membuat makanan olahan dari daging ayam (nugget, sosis, dll) dengan merk Belfoods. Tidak hanya sebagai produsen, SIPD juga memiliki beberapa unit usaha di bidang distribusi dan perdagangan ritel (Belmart), hingga kemitraan ternak ayam dengan peternak perorangan. Satu lagi, SIPD punya satu unit usaha di bidang produsen tepung ikan, namun kontribusinya terhadap pendapatan perusahaan secara keseluruhan masih belum signifikan.

Meski sudah merambah sektor ternak ayam dari hulu ke hilir, dan ukuran perusahaannya sendiri sudah cukup besar, namun hingga kini SIPD masih terus berekspansi. Berikut adalah beberapa rencana pengembangan usaha yang dipaparkan perusahaan dalam public exposeterakhirnya, tanggal 17 Juli 2012 lalu:

  1. Pembangunan lima fasilitas pembibitan ayam di Lebak, Banten
  2. Pembangunan satu fasilitas penetasan telur ayam (hatchery), juga di Lebak.
  3. Pembangunan tiga fasilitas peternakan ayam di Bogor, Jawa Barat, belum termasuk akuisisi satu peternakan ayam dari perusahaan lain.
  4. Pembangunan satu fasilitas pemotongan ayam di Mojokerto, Jawa Timur.
  5. Penambahan gerai-gerai Belmart di beberapa kota di Indonesia
  6. Penambahan mesin untuk meningkatkan kapasitas produksi makanan olahan merk Belfoods hingga 60%.
Sebagian besar dari proyek-proyek diatas dijadwalkan selesai dikerjakan pada Kuartal III atau IV 2012, dan sudah bisa beroperasi pada awal tahun 2013. So, SIPD ini jelas memiliki prospek yang menarik. Apalagi secara historis, nilai aset dan pendapatan perusahaan dalam lima tahun terakhir selalu naik terus. Berikut datanya, angka dalam milyaran Rupiah:

Tahun
2007
2008
2009
2010
2011
2012*)
Aset
1,295
1,385
1,641
2,037
2,642
3,082
Pendapatan
1,632
2,332
3,243
3,643
4,029
3,071
*) hingga Kuartal III






Btw, salah satu indikator dalam analisis fundamental adalah asset turnover (ATO) alias perputaran aset. Angkanya didapat dari membagi nilai pendapatan dengan aset perusahaan yang bersangkutan. ATO ini, semakin besar angkanya maka semakin bagus, karena menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mengoptimalkan asetnya untuk memperoleh omzet yang sebesar-besarnya. Nah, berikut ini adalah data annualized ATO untuk SIPD dan perusahaan-perusahaan lain di bidang yang sama (CPIN, JPFA, dan MAIN), untuk periode Kuartal III 2012.

Perusahaan
CPIN
JPFA
MAIN
SIPD
Aset
11,748
10,863
1,807
3,082
Pendapatan (disetahunkan)
21,215
17,865
3,355
4,095
ATO
1.8
1.6
1.9
1.3

Perhatikan, dari data diatas maka anda bisa melihat bahwa sektor per-ayam-an ini memang luar biasa, dimana dari keempat perusahaan yang listing di bursa, kesemuanya mencatat ATO lebih dari 1 kali, atau dengan kata lain, pendapatan mereka dalam satu tahun sudah lebih besar ketimbang nilai aset perusahaannya sendiri. Hal yang sama juga berlaku untuk SIPD, yang mencatat ATO 1.3 kali. Meski angka tersebut memang lebih kecil ketimbang tiga perusahaan lainnya, namun itu adalah karena aset SIPD telah meningkat pesat dalam dua tahun terakhir karena proses pengembangan usaha, sementara peningkatan pendapatannya belum sekencang kenaikan asetnya tersebut (pendapatan SIPD mungkin baru akan meningkat signifikan pada tahun 2013 nanti, kalau proyek-proyeknya yang sudah disebut diatas berjalan lancar). Tapi kalau kita lihat data historisnya, pada tahun 2011 lalu ATO SIPD mencapai 1.5 kali, dan juga sempat mencapai 2.0 kali pada 2009.

Karena pendapatannya besar, maka otomatis laba bersih dari perusahaan-perusahaan ayam ini seharusnya juga besar. Dan memang begitulah, level return on equity milik CPIN dkk memang sangat baik. Berikut datanya (untuk periode Sembilan Bulan 2012):

Perusahaan
CPIN
JPFA
MAIN
SIPD
Ekuitas
7,962
4,686
647
1,279
Laba Bersih (disetahunkan)
3,288
1,336
356
22
ROE (%)
41.3
28.5
55.1
1.8

Nah, dari sini barulah kelihatan bahwa SIPD ini ternyata nggak beres. Ketika tiga perusahaan lainnya mencatat ROE yang terbilang fantastis, SIPD malah hanya mencatat laba bersih Rp16 milyar (disetahunkan jadi Rp22 milyar), sehingga ROE-nya cuma 1.8%. Masuk akal? Jelas tidak. Pihak manajemen sempat mengklaim bahwa laba yang sangat kecil tersebut adalah karena turunnya harga daging ayam dan DOC. Tapi jika memang itu penyebabnya, lantas kenapa CPIN, JPFA, dan MAIN tidak mengalami masalah yang sama?

Dan kalau kita telusuri lebih lanjut, kecilnya laba bersih SIPD ini sudah terjadi sejak lama. Kalau kita pakai data milik CPIN, JPFA, dan MAIN, ketiga perusahaan ini rata-rata mencatat net profit margin (NPM, nilai laba bersih dibanding pendapatan) antara 7 hingga 15%, sehingga untuk setiap pendapatan sebesar Rp1 milyar, ketiga perusahaan diatas mampu meraup laba bersih antara Rp70 hingga 150 juta.

Sementara SIPD? Nih, anda lihat sendiri saja datanya:

Tahun
2007
2008
2009
2010
2011
Pendapatan
1,632
2,332
3,243
3,643
4,029
Laba Bersih
21
27
37
61
22
NPM (%)
1.3
1.2
1.1
1.7
0.5

Perhatikan, ‘rekor’ NPM tertinggi SIPD dicapai pada tahun 2010 lalu, yakni sebesar 1.7%, dan itu tentu saja sangat kecil untuk ukuran perusahaan produsen, apalagi jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lain di sektor yang sama.

Lantas apa masalahnya? Well, entahlah, tapi biaya produksi SIPD memang sangat mahal sehingga laba SIPD sudah kecil sejak dari laba kotor alias gross profit-nya, tak peduli sebesar apapun pendapatan perusahaan. Dalam lima tahun terakhir, margin laba kotor SIPD hanya sekitar 7 – 10%, dan itu sekali lagi, jauh lebih rendah ketimbang margin laba kotor ketiga perusahaan ayam lainnya yang mencapai 20% lebih. Ini tentu aneh, karena jika mempertimbangkan bahwa SIPD juga memiliki anak usaha di bidang distribusi, maka seharusnya margin labanya bisa lebih besar ketimbang perusahaan ayam lainnya, karena SIPD tidak harus seperti CPIN dkk yang menyerahkan proses distribusi produk-produknya kepada pihak ketiga.

Mahalnya biaya produksi SIPD tersebut, salah satunya adalah karena tingginya biaya bahan baku pakan ternak. Sayangnya tidak ada info lebih lanjut mengenai berapa harga per kilo jagung (salah satu bahan baku pakan ayam) yang dibeli perusahaan, misalnya. Anehnya meski masalah utama SIPD sejak dulu terletak di biaya produksinya yang selangit, namun dari berbagai pengembangan usaha yang dilakukan perusahaan selama ini, tidak ada satupun diantaranya yang bertujuan untuk menekan biaya produksi. Hal ini sangat berbeda dengan salah satu kompetitornya, CPIN, yang sejak tiga tahun lalu sengaja mengakuisisi sebuah perusahaan perdagangan jagung dan komoditas lainnya, PT Agrico, untuk tujuan mengamankan supply dan mengendalikan harga bahan baku pakan ayam.

Tapi apapun itu, kecilnya laba bersih yang diperoleh SIPD selama ini tentu saja menyebabkan sahamnya juga jadi nggak kemana-mana. Tak hanya itu, besarnya pajak yang dibayar perusahaan juga jauh lebih kecil ketimbang tiga perusahaan lainnya. Berikut datanya untuk periode Sembilan Bulan 2012, angka dalam milyar Rupiah:

Perusahaan
CPIN
JPFA
MAIN