Minggu, 17 Maret 2013
Kamis, 14 Maret 2013
Analisis Saham Independen News
Posted: 14 Mar 2013 08:05 AM PDT
Penulis sudah mengamati saham Gajah Tunggal (GJTL)
ini sejak lama, yaitu sejak sekitar 3.5 tahun lalu ketika harganya
masih di 400-an. Ketika itu kinerja perusahaan ban yang masih satu grup
dengan Mitra Adiperkasa (MAPI) ini mulai pulih kembali pasca babak belur
dihajar krisis global 2008, dengan mencatat laba bersih Rp905 milyar di
tahun 2009, dibanding rugi bersih Rp625 milyar di tahun sebelumnya.
Kinerja yang apik tersebut kemudian berlanjut di periode-periode
berikutnya, hingga saham GJTL juga terus naik hingga sempat menembus
3,400 di pertengahan tahun 2011 lalu. Namun sejak saat itu GJTL terus
saja turun, dan sekarang sudah berada di posisi 2,150. Apakah itu karena
kinerjanya sudah tidak bagus lagi? Mungkin nggak juga ya, soalnya
hingga Kuartal III 2012, GJTL masih mencatatkan kenaikan laba bersih
31.4%, atau masih cukup baik, dan ROE-nya juga masih terjaga di level
20.4%.
PER
GJTL pada harganya saat ini, kalau pake laporan keuangan terakhirnya
tercatat 7.2 kali, alias relatif rendah, sehingga tentu saja cukup
menarik apalagi trend-nya dalam sebulan terakhir tampak mulai naik lagi.
Jadi bagaimana prospeknya? Dan yang paling penting sebelumnya, apa
kira-kira yang menyebabkan GJTL ini turun terus sebelumnya? Jawabannya
mungkin terkait policy perusahaan dalam mengelola utangnya.
Jadi
begini ceritanya. Kalau kita pakai data tahun 2008 dimana ketika itu
GJTL mengalami kerugian cukup besar, penyebabnya adalah beban bunga
pinjaman yang membengkak seiring dengan pelemahan Rupiah terhadap US
Dollar ketika itu, mengingat utang GJTL adalah dalam mata uang US$.
Sejak dulu jumlah utang GJTL memang cukup besar, dan hingga kini pun
masih demikian. Pada Kuartal III 2012, GJTL mencatat total kewajiban
sebesar Rp7.2 trilyun, yang menjadikannya mencatat DER 1.4 kali. Lebih
dari setengah total kewajibannya tersebut berasal dari utang obligasi euro bond
senilai US$ 412.5 juta atau setara Rp4.0 trilyun. Obligasi tersebut
diterbitkan pada Juli 2009, dan merupakan perpanjangan dari obligasi
lama yang diterbitkan sebelumnya. Jadi simpelnya bisa dikatakan bahwa
perusahaan lebih memilih untuk membayar utang lama dengan utang baru
ketimbang melunasinya. Obligasi tahun 2009 tersebut dijadwalkan akan
jatuh tempo pada Juli 2014 mendatang.
Tapi
diluar utang obligasi, GJTL tidak memiliki utang lain yang mengandung
bunga. GJTL memang sebelumnya punya utang ke Bank HSBC sebesar US$ 2
juta, namun utang tersebut sudah dilunasi pada Maret 2012 lalu.
Kembali
ke utang obligasi. Seperti yang sudah diduga sebelumnya, GJTL membayar
obligasi tahun 2009 tersebut dengan utang lagi. Pada Desember 2012 lalu,
manajemen mengumumkan bahwa perusahaan menerbitkan obligasi baru
senilai US$ 500 juta di Singapura, dimana dananya dipakai untuk membayar
obligasi tahun 2009. Dari sisi efisiensi, tujuan dari penerbitan
obligasi anyar tersebut cukup baik, yaitu untuk menekan biaya bunga.
Kalau GJTL masih mempertahankan obligasi lamanya, maka perusahaan harus
membayar bunga sebesar 8 – 10.25% per tahun hingga tahun 2014 mendatang.
Sementara obligasi yang baru diterbitkan tadi, bunganya cuma 7.5% per
tahun. Jadi dengan cara ini maka catatan laba bersih perusahaan di tahun
2013 nanti bisa menjadi lebih baik. Namun tetap saja, hal ini
sepertinya direspon negatif oleh pasar.
Tapi
jika GJTL baru mengumumkan soal penerbitan obligasi barunya pada
Desember 2012, lalu kenapa sahamnya sudah merosot jauh sebelumnya?
Kemungkinan itu karena pelemahan Rupiah terhadap US Dollar. Seperti yang
anda ketahui, kurs Rupiah terus turun dalam setahun terakhir ini, dari
sekitar Rp8,700 menjadi terakhir Rp9,703 per US$. Mengingat bahwa utang
obligasi GJTL adalah dalam mata uang US$, maka pelemahan Rupiah tersebut
bisa berarti bahwa nilai utang obligasi tersebut termasuk bunganya akan
membengkak, sehingga laba bersih perusahaan bisa tertekan, mengingat
GJTL memperoleh pendapatannya dalam mata uang Rupiah.
Kabar
baiknya, GJTL tidak sepenuhnya memperoleh pendapatannya dalam Rupiah,
melainkan 37% diantaranya dalam mata uang US$ (karena berasal dari
penjualan ekspor). Selain itu peningkatan laba bersih GJTL masih cukup
baik kok, yakni seperti yang sudah disebut diatas, 31.4%.
Terlepas
dari polemik terkait utang obligasinya, GJTL merupakan perusahaan yang
cukup bagus. Hingga Mei 2012, GJTL merupakan pemimpin di pasar ban bias
dan ban sepeda motor, dengan pangsa pasar masing-masing 51 dan 50%.
Untuk ban radial, GJTL adalah penguasa pasar ketiga setelah Bridgestone
dan Dunlop. Tidak hanya sebagai produsen, GJTL juga memiliki unit usaha
di bidang distribusi retail, yakni gerai ‘TireZone’, yang jumlahnya
mencapai 56 gerai di seluruh Indonesia. Untuk pasar ekspor, produk ban
GJTL sejauh ini sudah mampu menjangkau hingga 80 negara di seluruh
dunia.
Dan
tahukah anda bahwa Sjamsul Nursalim, pemilik GJTL, juga memiliki
perusahaan ban di Tiongkok sana dengan nama yang mirip-mirip dengan
Gajah Tunggal? Perusahaan itu adalah GITI Tire, dengan lokasi pabriknya di Provinsi Fujian, Tiongkok, namun berkantor di Singapura (ini website-nya, www.giti.com).
GITI ini masuk ke dalam daftar sepuluh besar perusahaan ban terbesar di
dunia, dengan produk andalannya yang hampir sama persis dengan milik
GJTL, yakni GT Radial. Sayangnya GITI tidak ditempatkan oleh sang
pemilik dibawah GJTL, melainkan menjadi perusahaan yang sepenuhnya
terpisah dengan GJTL. GJTL sendiri kalau pake data tahun 2008 lalu
merupakan perusahaan ban terbesar nomor 28 di dunia, atau jauh lebih
kecil dibanding dibanding saudaranya yang di Fujian tersebut.
Anyway,
dalam hal ini penulis bisa katakan bahwa GJTL dikelola oleh juragan ban
kelas dunia, dan makanya perusahaannya lumayan bagus dan punya nama
besar. Saham GJTL sendiri 10% diantaranya dipegang oleh Michelin,
produsen ban terkemuka asal Perancis, dan GJTL memang menjual sekitar
13% produk ban-nya kepada Michelin, dalam hal ini Michelin North
America, Inc.
Lalu
terkait pengembangan usaha, pada tahun 2012 lalu GJTL melakukan aksi
korporasi penting dengan membeli lahan seluas 100 hektar di kawasan
industri di Karawang, Jawa Barat, senilai US$ 108 juta. Sekitar 60% dari
lahan tersebut digunakan untuk sirkuit uji coba ban (proving ground),
dan sisanya untuk didirikan pabrik baru. Seluruh proyek tersebut
direncanakan akan selesai tahun 2014 mendatang. Diluar itu, GJTL secara
bertahap meluncurkan dua produk anyar yaitu ban sepeda motor merk
‘Zeneos’, dan ban TBR (Truck and Bus Radial), sehingga GJTL nantinya
akan memiliki produk ban yang lebih terdiversifikasi.
Jadi
kesimpulannya? Yap, GJTL ini menarik terutama karena harganya yang lagi
diobral. Terkait penerbitan obligasinya, kalau kita mempertimbangkan
tujuannya yaitu untuk menghemat biaya bunga, maka sebenarnya itu justru
bagus dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, mengingat DER GJTL yang
tercatat 1.4 kali tadi tentunya juga tidak terlalu buruk. Dan dengan
mempertimbangkan nama besarnya sebagai produsen ban lokal nomer satu di
Indonesia, PBV yang wajar bagi GJTL adalah 2.0 kali, dan itu berarti
harga 2,900. Well, mungkin GJTL tidak akan bisa langsung naik ke posisi
tersebut dalam waktu dekat ini, apalagi IHSG juga kelihatannya mulai
batuk batuk. Tapi kalau posisi 2,400 – 2,500, maka itu masih masuk akal.
Hanya
saja waktu yang tepat untuk masuk ke saham ini adalah jika nanti
laporan keuangan perusahaan untuk Tahun Penuh 2012 sudah keluar,
terutama jika kinerjanya terbarunya tersebut masih bagus seperti kuartal
sebelumnya. Kalau mau masuk dari sekarang? Well, gunakan dana kecil
saja dulu, dan jangan lupa untuk cut loss jika GJTL ini turun lebih
rendah dari 2,000. Secara fundamental, sebenarnya GJTL kecil
kemungkinannya untuk turun menembus 2,000, tapi tidak ada salahnya kita
jaga-jaga, mengingat kurs Rupiah juga masih belum stabil.
NB: Penulis membuat buku elektronik (ebook) yang berisi kumpulan analisis saham. Anda bisa memperolehnya disini.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Posted: 13 Mar 2013 07:44 PM PDT
Beberapa
tahun lalu, tepatnya awal tahun 2010, Grup MNC yang kala itu masih
bernama Grup Bhakti, menggemparkan bursa saham dengan mengumumkan bahwa
mereka, melalui salah satu perusahaannya yakni Bhakti Investama (BHIT),
berencana untuk masuk ke sektor natural resources, dengan cara
mengakuisisi tambang minyak di Papua. Karena pengumuman tersebut, saham
BHIT seketika melejit dari posisi 200 hingga sempat menembus level
1,000, hanya dalam tempo dua bulan (Januari - Maret 2012). Dalam tempo
dua bulan itulah, hampir semua orang di market membicarakan tentang
fenomena saham BHIT, dan sebagian lagi merayakan euforia karena untung
besar dari saham tersebut. Sayang, seiring dengan tidak adanya
kelanjutan dari proses dari akuisisi tambang minyak tersebut, saham BHIT
kemudian anjlok besar-besaran, dan terus anjlok hingga sempat menyentuh
level 105, atau sudah jauh lebih rendah ketimbang posisi sebelum
kenaikannya (200). Meski saat ini BHIT memang sudah berada di posisi
500-an, namun ketika itu tidak sedikit investor yang pada akhirnya
melontarkan sumpah serapah terhadap saham ajaib ini.
Namun disini kita tidak akan membicarakan mengenai pergerakan saham BHIT ketika itu, melainkan manuver dari sang Tsar: Hary Tanoesoedibjo.
Pada waktu itu, ketika dikatakan bahwa BHIT berniat untuk masuk ke
sektor tambang, maka hal itu memang bukan isapan jempol, melainkan Mr.
Hary memang punya rencana pengembangan usaha ke arah sana, setelah
sebelumnya cukup sukses di bisnis media melalui Media Citra Nusantara
(MNCN) dkk, dan bisnis finance melalui Bhakti Capital (BCAP). Sayang,
sepertinya rencana tersebut gagal, dimana Grup MNC tidak berhasil
mengakuisisi tambang minyak yang dimaksud. BHIT kemudian hanya berhasil
mengakuisisi dua buah tambang batubara, masing-masing berlokasi di
Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan. Namun hingga saat ini, atau sudah
lewat lebih dari 3 tahun, tambang batubara tersebut sama sekali masih
belum menghasilkan pendapatan. Hingga Kuartal III 2012, BHIT mencatat
pendapatan Rp7.0 trilyun, dimana dari jumlah tersebut tidak ada
sepeserpun yang berasal dari usaha tambang batubara.
Meski
cerita soal tambang minyak BHIT diatas, yang kemudian diganti dengan
tambang batubara, berakhir dengan sad ending, namun itu tidak mencegah
Grup MNC untuk berekspansi lagi, atau setidaknya itulah yang
diperhatikan oleh publik. Setelah sempat vakum sepanjang tahun 2011 -
2012 lalu, akhir-akhir ini Grup MNC (melalui BHIT) banyak dikabarkan
akan melakukan beberapa aksi korporasi penting. Berikut diantaranya:
Diluar
itu, Mr. Hary juga melakukan banyak kegiatan yang tidak dilakukannya
melalui perusahaan-perusahaannya yang listing di bursa, entah itu BHIT
ataupun lainnya. Diantaranya:
Nah, yang
menarik untuk disimak adalah keputusan dari eks anak didik Anthoni Salim
ini untuk terjun ke politik: Kira-kira apa tujuannya? Tapi apapun itu,
manuver Mr. Hary di bidang politik ini terbilang sangat cepat. Belum
genap setahun sejak ia masuk ke Nasdem, eh sekarang malah sudah bisa
bikin ormas sendiri. Disisi lain, seiring dengan mengemukanya berbagai
rencana korporasi dari perusahaan-perusahaannya yang terdaftar di BEI,
saham-saham Grup MNC seperti BHIT, MNCN, BMTR, hingga yang gak jelas
seperti IATA, BCAP, hingga KPIG, semuanya naik gila-gilaan. Well, kita
tahu bahwa ketika mantan pimpinan Grup Bakrie, Aburizal Bakrie,
memutuskan untuk terjun ke politik sejak tahun 2004 lalu, Grup Bakrie
tidak lantas meredup namun justru semakin melebarkan sayapnya
kemana-mana. Namun itu karena pengganti Ical di Grup Bakrie, yaitu
Nirwan, tidak kalah hebatnya dengan kakaknya tersebut. Sementara Mr.
Hary? Dia sendirian dalam memegang Grup MNC, dan hingga saat ini masih
berstatus sebagai pimpinan grup. Memang, Mr. Hary memiliki beberapa
kerabat yang juga ditempatkannya di dalam perusahaan, seperti Bambang
Tanoesoedibjo dan Liliana Tanaja, yang menjadi komisaris di BHIT. Namun
secara keseluruhan, tidak ada seorangpun di Grup Bhakti yang bisa
menggantikan peran Mr. Hary sebagai pimpinan tertinggi.
Masalahnya,
sejak Republik ini berdiri sampai sekarang, belum pernah ada seorang
pengusaha pun yang sukses sebagai politisi. Aburizal Bakrie? Juga sama
saja. Meski Ical terbilang sangat sukses dalam mengembalikan kejayaan
Grup Bakrie setelah dihantam badai krisis moneter 1998 lalu, namun
setelah 9 tahun di dunia politik, ia tetap belum berhasil meraih
pencapaian apapun. Malah yang ada elektabilitas Partai Golkar terus saja
turun, termasuk gagal total di beberapa Pilkada akhir-akhir ini.
Berbagai upaya yang dilakukan, termasuk memperkenalkan istilah ARB
sebagai inisial namanya, juga tidak berhasil meningkatkan popularitasnya
untuk bisa menjadi calon Presiden RI. Terakhir, beberapa sesepuh Golkar
seperti Akbar Tanjung dan Jusuf Kalla, juga dikabarkan mulai gerah
terhadap Ical, dan berencana untuk turun gunung. Anyway, kita tonton
saja kelanjutannya.
Sementara
Hary Tanoe? Di bidang bisnis, dia belum sehebat dan sebesar Bakrie.
Wajar, karena Grup MNC juga baru berdiri sejak awal tahun 1990-an lalu,
dan ini berbeda dengan Keluarga Bakrie yang sudah menjadi konglomerat
sejak jaman Jepang dulu (tahun 1950-an). Berbagai upaya ekspansi yang
dilakukan juga belum membuahkan hasil atau bahkan gagal, seperti yang
sudah diutarakan diatas, namun itu tidak mencegahnya untuk mencoba
peruntungan di dunia yang sama sekali belum pernah ia masuki sebelumnya.
Okay, let sey ternyata Mr. Hary bisa sukses di politik dalam 2 - 3
tahun mendatang, atau bahkan bisa mencalonkan diri sebagai Presiden.
Tapi jika itu terjadi, maka bagaimana dengan perusahaan-perusahaannya?
Apakah ia sanggup mengurus Partai namun dengan tetap fokus pada bisnis?
Karena kalau kita pakai contoh Gita Wirjawan, misalnya, pengusaha
sekaligus pemilik Grup Ancora ini gagal total di usahanya (itu bisa
dilihat dari kinerja Ancora Indonesia Resources/OKAS yang rugi terus
belakangan ini), justru setelah kariernya di Pemerintahan melenggang
mulus (sekarang beliau sudah jadi Menteri Perdagangan). Karier Mr. Gita
di bidang bisnis pada saat ini boleh dibilang sudah ketinggalan jauh
dibanding beberapa pengusaha seangkatannya, salah satunya Patrick
Walujo. Padahal Mr. Gita sama sekali belum ikut-ikutan partai lho.
Namun
Mr. Hary tentu berbeda dengan Gita. Mr. Hary juga cukup cerdas dengan
tidak melenggang sendirian di dunia politik, melainkan berkongsi dengan
beberapa politisi yang lebih senior (Dengan Surya Paloh, dan sekarang
dengan Jendral Wiranto, pimpinan Partai Hanura, dan juga Yusril Ihza
Mahendra. Belakangan dikabarkan Mr. Hary juga sedang pedekate dengan
Anas Urbaningrum). Mungkin Mr. Hary juga punya tujuan yang sama ketika
ia memutuskan untuk membantu Bakrie dalam pertarungannya melawan
Nathaniel Rothschild, yaitu agar ia memiliki partner yang cukup kuat
dalam menjalankan bisnisnya, karena dengan posisinya saat ini, ia tidak
bisa sepenuhnya fokus pada mengelola perusahaan saja.
At
the end, a man can be anythin he wants, as long as he has the vision.
Pertanyaannya kemudian, apa sebenarnya visi dari seorang Hary Tanoe?
Memberantas korupsi? Meningkatkan kesejahteraan rakyat? Well, kalaupun
itu bisa dilakukan, lantas apa untungnya?
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Posted: 06 Mar 2013 05:57 PM PST
Beberapa
hari terakhir ini di media-media baik cetak maupun elektronik, sedang
ramai dibicarakan kasus dugaan penipuan investasi oleh PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS),
dengan perkiraan nilai kerugian nasabah hingga Rp600 milyar, tapi ada
juga yang bilang hingga Rp10 trilyun. Manapun yang benar, tetap saja itu
adalah jumlah kerugian yang tidak sedikit. Namun kasus ini adalah yang
kesekian kalinya terjadi di negeri ini, dengan modus yang selalu sama:
Penipuan berkedok investasi dengan iming-iming keuntungan besar dalam waktu singkat.
Nah, actually kasus ini tidak berkaitan langsung dengan investasi kita
di saham, tentu saja, namun penulis kira tetap penting untuk dibahas
untuk memberikan informasi kepada masyarakat yang mungkin masih awam
tentang apa itu investasi. Okay here we go!
GTIS dulunya merupakan perusahaan jual beli emas biasa dengan nama PT Golden Traders Indonesia (GTI). Pada tahun 2011, perusahaan menambahkan kata ‘Syariah’ di belakang namanya, sehingga berubah menjadi PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS). Di tahun ini pula, perusahaan (mengaku) memperoleh sertifikat ‘telah memenuhi prinsip syariah’ dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berbekal klaim bahwa usahanya ‘halal dan islami’, GTIS kemudian memasarkan produk investasinya melalui berbagai media, terutama melalui sistem referral yaitu setiap nasabah akan diminta untuk mencari nasabah lagi (kurang lebih seperti sistem Multilevel Marketing alias MLM). Dalam tempo singkat yakni hanya 2 tahun, perusahaan ini berkembang sangat pesat dan berhasil mendirikan tiga belas kantor yang tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, terutama Jakarta. Dalam setiap promosinya, GTIS memiliki tagline yang sangat menarik: ‘Udah gak jaman investasi emas hanya mengandalkan fluktuasi harga. Nikmati kepastian keuntungan sebesar 2% setiap bulan hanya di Golden Traders Indonesia’.
Kepastian
keuntungan? Are you out of mind? Sejak kapan ada investasi yang mampu
menjamin bahwa investasi tersebut pasti untung tanpa memaparkan risikonya sama sekali?
Kembali
ke GTIS. GTIS menawarkan produk investasi berupa pembelian emas, baik
fisik maupun hanya berupa sertifikat, dengan tawaran keuntungan sebesar 2
– 4.5% per bulan, dibayarkan secara tunai. Jadi kalau anda beli produk
investasinya senilai Rp100 juta, misalnya, maka setiap bulan anda akan
menerima bunga, atau bonus, atau apapun itu namanya, sebesar Rp2 –
4.5 juta, ditransfer langsung ke rekening bank anda. Produk investasi
ini dijamin dengan surat perjanjian buy back guarantee, dimana
pihak GTIS akan membeli kembali emas yang dipegang nasabah dengan harga
yang sama dengan harga pembelian. So, katakanlah anda membeli emas dari
GTIS senilai Rp100 juta. Maka dalam setahun, anda akan memperoleh bunga
minimal Rp2 juta x 12 bulan = Rp24 juta, dan setelahnya anda bisa
menjual emas yang anda pegang kepada GTIS, untuk memperoleh modal anda
kembali yang sebesar Rp100 juta tadi. Well, dapet keuntungan minimal 24%,
dan tanpa risiko pula, karena emas yang anda pegang dijamin akan bisa
dibeli kembali oleh pihak GTIS. Jadi ‘investasi’ ini kurang menarik apa
lagi coba?
Namun ada beberapa hal yang menarik seputar ‘produk investasi’ yang ditawarkan GTIS ini:
Satu.
Nasabah harus membeli emas yang dijual GTIS pada harga yang lebih
tinggi ketimbang harga emas pasaran, dengan selisih harga sekitar 20 –
30%. Artinya jika harga emas di pasaran adalah Rp500,000 per gram, maka
nasabah harus membayar Rp600 – 650,000 untuk setiap gram emas yang
mereka peroleh. Tidak ada keterangan dari pihak GTIS soal kenapa harga
emas yang mereka jual lebih tinggi. Biasanya mereka (melalui agen-nya)
hanya mengatakan bahwa meski harga emas yang mereka jual lebih tinggi,
namun nasabah tidak perlu khawatir, karena nanti toh GTIS akan membeli
kembali emas tersebut pada harga yang sama, bahkan kalau harga pasaran
emas ternyata turun. Selain itu si agen biasanya menambahkan bahwa harga
emas akan naik terus, sehingga si nasabah tidak mungkin rugi (jadi
sekali lagi, risiko investasinya nol!)
Dua.
Tidak ada keterangan dari mana pihak GTIS memperoleh dana untuk
membayar bunga bagi para nasabahnya. Berdasarkan informasi yang dihimpun
Kontan.co.id, GTIS mengaku bahwa mereka membeli emas dengan harga murah
dari UBS (Untung Bersama Sejahtera) dan menjualnya di Singapura dengan
harga tinggi. Keuntungan dari selisih harga itulah yang kemudian dipakai
untuk membayar bunga kepada para nasabah. Tapi tidak ada keterangan
lebih lanjut soal siapa itu UBS, dan di Singapura sebelah mana mereka
jualan emas.
Tiga.
Nasabah hanya bisa membeli produk melalui agen. Agen ini biasanya
merupakan nasabah GTIS juga, dan ia memperoleh komisi untuk setiap
nasabah baru yang ia bawa. Alhasil jika anda bergabung untuk menjadi
nasabah, maka anda sekaligus akan menjadi agen, dan anda bisa memperoleh
keuntungan tambahan berupa komisi tadi. Tapi kalaupun anda tidak
memperoleh nasabah, maka itu tidak jadi masalah.
Nah, dari ketiga poin diatas, apa yang bisa anda simpulkan? Benar sekali. GTIS ini menjalankan Skema Ponzi (Ponzi Scheme). Skema Ponzi adalah sistem investasi palsu
dimana perusahaan investasi membayar keuntungan/bunga kepada investor
dari uang si investor itu sendiri, atau dari uang investor berikutnya.
Dikatakan palsu, karena dana yang dihimpun dari investor tidak pernah digunakan untuk membiayai usaha tertentu untuk menghasilkan keuntungan.
Biasanya investasi ini menawarkan keuntungan yang luar biasa dalam
waktu singkat dengan risiko yang sangat rendah, atau bahkan risikonya
nol. Biasanya pula, si investor atau nasabah akan menerima pembayaran
bunga secara rutin selama beberapa waktu, sehingga ia kemudian merasa
tidak ada masalah sama sekali, atau bahkan menambah kembali
investasinya. Tapi setelah ia menyetor seluruh dana yang ia miliki, dan
juga sudah membawa banyak nasabah baru, maka barulah timbul masalah,
mulai dari macetnya pembayaran bunga, hingga modal yang ternyata tidak
bisa ditarik kembali.
Sementara
di Indonesia, penipuan Skema Ponzi ini bukan kasus baru, melainkan
sudah terjadi berulang kali hanya dengan kemasan yang berbeda-beda.
Sebut saja Tambang Emas Busang, Qurnia Subur Alam Raya, Dressel, VGMC,
Koperasi Langit Biru, Raihan, hingga GTIS. Dalam kasus GTIS, ‘kemasan’
tersebut adalah investasi emas. Bunga yang dibayarkan kepada si nasabah
berasal dari selisih harga emas yang lebih tinggi dibanding harga
pasaran tadi.
Definisi Investasi
Dalam beberapa kali kesempatan seminar, penulis selalu memaparkan kepada peserta mengenai definisidari investasi. Simpelnya, investasi dapat dikelompokkan menjadi dua jenis:
Satu, investasi pada aset tetap. Yang dimaksud dengan aset tetap adalah aset yang harganya terus meningkat untuk menyesuaikan diri dengan inflasi, namun nilaidari
aset itu sendiri sebenarnya tidak banyak berubah kecuali sedikit.
Contohnya anda membeli tanah kosong seluas 1 hektar dengan harapan bahwa
harganya akan naik dalam beberapa waktu kedepan. Sejatinya, nilai dari
tanah tersebut tidak akan naik, terutama jika tidak dilakukan
pengembangan (dibuat bangunan diatasnya, dll). Namun jika anda beli
tanah tersebut pada tahun 1990 pada harga Rp100 juta, misalnya, maka
harganya pada hari ini tidak mungkin masih Rp100 juta juga, melainkan
mungkin sudah milyaran.
Dalam
definisi investasi yang lebih sempit, maka tindakan investasi dengan
cara membeli tanah diatas tidak bisa disebut sebagai investasi,
melainkan lebih merupakan tindakan melindungi mata uang dari inflasi.
Jika tanah yang bersangkutan dikembangkan menjadi rumah kontrakan,
misalnya, dan rumah kontrakan tersebut memberikan keuntungan berupa uang
sewa setiap bulannya, maka itu baru bisa disebut sebagai investasi,
karena aset tanah/rumah kontrakan tersebut kini memberikan ‘dividen’
berupa uang sewa bulanan tadi. But still, inipun belum merupakan
‘investasi penuh’, karena tidak menawarkan kenaikan nilai aset(jumlah kamar kontrakan tidak akan bertambah), kecuali jika anda secara rutin membangun kamar kontrakan yang baru.
Lalu yang kedua, investasi pada aset bertumbuh.
Jika anda membeli kambing untuk diternakkan (tentunya setelah anda
menunjuk peternak yang handal), maka itu bisa disebut sebagai investasi
pada aset bertumbuh, karena jumlah kambing anda akan meningkat seiring
dengan berjalannya waktu (beranak pinak). Investasi seperti inilah yang
menurut penulis bisa disebut sebagai The Real Investment, karena
memberikan dua macam keuntungan yakni: Dividen (setiap kali anda
memperoleh uang dari penjualan seekor kambing), dan kenaikan nilai aset
(jumlah kambing anda akan terus bertambah). Tidak perlu lagi ditanyakan
keuntungan dari kenaikan harga aset, karena harga jual dari kambing anda
akan terus naik setiap tahun (ini pengalaman penulis sendiri setiap
kali nyari kambing buat merayakan Idul Adha).
Meski
demikian investasi anda pada usaha ternak kambing tersebut mengandung
beberapa risiko yang bisa menyebabkan penurunan pada nilai investasi
anda (baca: kerugian). Misalnya peternak yang anda tunjuk
ternyata tidak cukup mahir, terjadi wabah penyakit yang menyebabkan
cacat pada ternak atau bahkan kematian, kenaikan harga pakan, hingga
penurunan harga jual kambing karena persaingan dengan peternakan lain.
Intinya, dibalik potensi keuntungan yang mungkin diraih dalam investasi
peternakan kambing diatas, terdapat unsur risiko yang tidak bisa
diabaikan. Dan memang begitulah, faktor potensi keuntungan sekaligus
risiko kerugian merupakan dua sisi mata uang yang tidak pernah bisa
dipisahkan dalam setiap kegiatan berinvestasi, apapun bentuknya.
Unsur
risiko yang kita bahas diatas juga terdapat dalam investasi pada aset
tetap. Bedanya, dalam berinvestasi pada aset tetap, unsur risiko
tersebut jauh lebih rendah meski bukan berarti tidak ada sama sekali.
Ketika anda beli tanah, maka harganya tidak akan turun kecuali jika
terjadi gempa bumi, banjir, atau krisis moneter, tapi disisi lain
keuntungan yang ditawarkan juga hanya berupa kenaikan harga saja, dan
anda tidak memperoleh kenaikan nilai ataupun kuantitas (Ketika anda beli
tanah 1 hektar, misalnya, maka sampai kapanpun tanah itu akan tetap
seluas 1 hektar dan gak akan bertambah menjadi 2 hektar. Ini berbeda
dengan kambing tadi yang bisa beranak pinak menjadi puluhan bahkan
ratusan ekor). Karena itulah investor yang sudah berpengalaman biasanya
menempatkan investasinya pada dua macam aset, yakni aset tetap dan aset
bertumbuh. Tujuannya selain untuk diversifikasi, juga untuk menekan
risiko terjadinya kerugian (aset tetap), namun disisi lain dengan tetap
mengejar keuntungan yang substansial (aset bertumbuh).
Investasi vs ‘Investasi’
Berdasarkan uraian diatas, maka yang dimaksud dengan investasi adalah kegiatan yang paling tidak memenuhi unsur-unsur berikut:
Nah,
balik lagi ke masalah GTIS diatas, menurut anda apakah itu bisa disebut
sebagai investasi? Jelas tidak. ‘Produk Investasi’ yang ditawarkan GTIS
tersebut memberikan dividen/bonus minimal 2% setiap bulannya, tapi
tidak jelas dari mana pihak GTIS akan memperoleh dana untuk membayar
bonus tersebut, selain juga tidak ada faktor risiko yang jelas (malah
pake jaminan segala lagi, bahwa bunga yang 2% per bulan itu pasti dibayar, bullshit). Kalau anda baca lagi diatas, salah satu unsur dari kegiatan investasi adalah adanya potensi keuntungan, bukan kepastiankeuntungan. Bahkan jika anda membeli obligasi yang menawarkan bunga alias fixed income
sekalipun, anda tetap saja menanggung risiko tidak memperoleh
keuntungan apa-apa atau bahkan mengalami kerugian, jika si perusahaan
ternyata tidak bisa membeli/menebus obligasi itu kembali.
Kembali
ke GTIS, disisi lain kalau dikatakan bahwa produk investasi yang
ditawarkan GTIS adalah investasi pada aset tetap (karena pake emas),
lalu kenapa nasabah harus membeli emasnya pada harga yang jauh lebih
tinggi ketimbang harga pasaran? Kalau gitu mending beli emas biasa aja
ateuh, terus disimpen di brankas dan taroh brankasnya di loteng, beres!
(Btw, terkait membeli aset pada harga yang jauh lebih tinggi ketimbang harga pasaran atau harga normalnya, maka
anda juga harus hati-hati dalam membeli aset tetap berupa
tanah/properti, jika tujuannya adalah untuk investasi. Belakangan ini
banyak sekali pengembang properti yang dengan sengaja menaik-naikkan
harga properti yang mereka jual, untuk memberikan kesan bahwa pembeli
pasti untung karena harga rumah/apartemen yang mereka beli naik terus.
Namun kenaikan tersebut seringkali tidak wajar (tentu saja, namanya juga
kenaikan yang dibuat-buat), sehingga sering kejadian si pembeli membeli
properti yang bersangkutan pada harga yang kelewat mahal, dan akhirnya
dia bukannya untung tapi malah rugi)
Anyway,
kasus GTIS diatas, termasuk kasus-kasus penipuan investasi lainnya,
memang akan selalu ada sampai kapanpun, selama orang-orang selalu
tertarik untuk memperoleh keuntungan besar dalam waktu singkat. So, berikut adalah beberapa tips untuk melindungi anda agar tidak terjebak kasus penipuan yang sama:
Satu, hati-hati dengan tawaran keuntungan yang kelewat besar.
Di Indonesia, persentase keuntungan yang wajar untuk investasi dalam
bidang apapun, adalah antara 7 hingga 20% per tahun (kita tidak
menghitung deposito disini, karena bunga 4.5% per tahun terlalu kecil
untuk menutupi penurunan nilai Rupiah karena inflasi), termasuk bunga
obligasi biasanya sekitar 10 - 12% per tahun. Okay, penulis tidak
menutup fakta bahwa kalau investasi di saham, banyak juga investor yang
mampu mencetak keuntungan yang jauh lebih tinggi dibanding 20% per
tahun. Namun kalau kita pakai patokan kenaikan IHSG dalam jangka
panjang, tepatnya sejak puncak krisis moneter tahun 1998 lalu dimana
ketika itu IHSG jatuh ke posisi 276 sebagai titik terendahnya, maka
rata-rata kenaikan IHSG dalam lima belas tahun terakhir (1998 – 2013,
hingga posisi terbarunya saat ini yaitu 4,825) adalah 19.6% per tahun.
So, jika anda ditawari investasi dengan return yang
jauh lebih besar dari 20% tadi, maka hati-hati karena itu kemungkinan
merupakan investasi bodong. Karena sejauh yang penulis pelajari, tidak
ada instrumen investasi yang menawarkan potensi gain yang lebih tinggi
ketimbang investasi di saham (tapi disisi lain, investasi di saham juga
merupakan investasi paling berisiko diantara investasi-investasi
lainnya). Kalau 'investasi' di forex, bursa berjangka, dll, itu bukan
investasi, melainkan trading (tapi di saham anda juga bisa trading kok, meski penulis sendiri lebih suka invest karena lebih santai).
Dua, hati-hati dengan tawaran investasi yang menjanjikan keuntungan/bonus/dividen/bunga yang akan dibayar dalam waktu singkat, dalam hal ini setiap bulan. Wajarnya, investasi jenis apapun menawarkan bagi hasil atau return
setahun sekali, dan itu sebabnya perusahaan juga hanya membagi dividen
setahun sekali kepada para pemegang saham, atau setahun dua kali untuk
perusahaan yang sudah benar-benar mapan.
Tapi
memang untuk beberapa jenis investasi ada sedikit perbedaan. Jika anda
menabung di bank, bunga yang anda peroleh dibayarkan setiap bulan. Dan
jika anda membeli obligasi, maka anda juga akan menerima bunga setiap
tiga bulan. Tapi berapa sih bunga tabungan bank dan obligasi? Cuma 2 dan
12% per tahun. Artinya? Perusahaan (atau bank) bisa membayar bunga
kepada anda dalam waktu singkat, jika nilai dari bunga itu sendiri
sangat kecil. Sementara jika nilainya besar, katakanlah 24% per tahun
seperti GTIS diatas, maka sangat tidak wajar jika bunga tersebut bisa
dibayarkan setiap bulan.
Tapi
GTIS itu tidak seberapa.. Penulis ingat dulu waktu jaman kuliah juga
pernah ditawari investasi yang menjanjikan keuntungan yang dibayar tiap
minggu, bahkan tiap hari! Sempet percaya juga, tapi untungnya ketika itu
penulis gak jadi bergabung karena memang gak punya duitnya.
Tiga, hati-hati dengan tawaran investasi tanpa penjelasan yang mendetail bahwa uang anda akan diputar di usaha apa, termasuk tidak ada penjelasan mengenai risiko kerugian.
Tawaran investasi apapun yang hanya fokus pada potensi keuntungan yang
akan diterima oleh calon investor, namun tidak ada penjelasan mengenai jenis dan risiko usaha, apalagi sampai menjamin bahwa investasinya pasti
untung, maka itu sudah pasti merupakan penipuan. You know, investasi
model apapun selalu ada risikonya, termasuk jika anda naruh uang di
deposito pun juga ada risikonya, yaitu jika bank yang bersangkutan
sewaktu-waktu kolaps (makanya kemudian ada Lembaga Penjamin
Simpanan/LPS, tapi itupun hanya bisa menjamin dana nasabah bank sebesar
maksimal Rp2 milyar). Jadi jika ada kenalan yang menghampiri anda
kemudian mengatakan, ‘Bro, ada peluang investasi nih, dijamin untung!
Mau nggak?’ Maka sudah pasti ia berniat menipu anda, entah disengaja
ataupun tidak.
Ada
lagi? Nggak, cuma tiga itu saja kok. Satu lagi nasihat yang bagus agar
anda terhindar dari kasus penipuan seperti ini adalah, ingat bahwa
something that is too good to be true, is typically not true at all.
Tapi penulis yakin anda sudah sering mendengar kalimat tersebut.
Investasi di Saham
Lalu
bagaimana dengan investasi di saham? Pada dasarnya, investasi di saham
adalah investasi pada aset bertumbuh: Anda membeli saham dengan harapan
bahwa nilai aset anda akan naik seiring dengan kenaikan nilai perusahaan
yang tercermin pada kenaikan harga sahamnya, plus keuntungan berupa
bagian laba bersih yang dihasilkan perusahaan (dividen). Kenaikan nilai
perusahaan biasanya berasal dari laba bersih ditahan (retained earnings)
yang digunakan untuk menambah modal untuk ekspansi usaha, misalnya
bikin kantor cabang baru, mendirikan pabrik baru, merekrut lebih banyak
pegawai untuk meningkatkan produksi, dll. Kenaikan nilai perusahaan
(yang kemudian tercermin pada kenaikan harga sahamnya) biasa disebut capital gain,
dan merupakan sumber keuntungan utama bagi para investor, karena
keuntungan dari dividen biasanya sangat kecil jika dibandingkan dengan
jumlah modal yang dikeluarkan (biasanya hanya 3% per tahun, kalau
mencapai 6% maka sudah sangat bagus).
Namun
jangan salah, ternyata di saham juga ada penipuan skema ponzi, meski
mekanismenya tidak sepenuhnya sama dengan skema ponzi pada kasus GTIS
diatas, yaitu: Sering kejadian harga saham dibuat melambung tinggi oleh
pihak-pihak tertentu, sehingga investor/trader yang membelinya
memperoleh keuntungan besar dalam waktu singkat, tapi bukan dari
kenaikan nilai perusahaan, melainkan dari investor lain yang membeli saham tersebut kemudian.
Artinya? Keuntungan yang diperoleh investor yang sudah membeli saham
tersebut sejak dari awal, diperoleh dari kerugian yang diderita investor
yang membeli belakangan. Saham model begini biasa disebut saham
gorengan, dan dari dulu sampai sekarang dan mungkin sampai kapanpun,
akan selalu ada saja saham-saham seperti ini.
Jadi
bagaimana cara menghindari agar tidak terjebak ‘saham ponzi’ tersebut?
Well, kita sudah membahasnya berkali-kali di website ini, coba anda
search lagi artikelnya. Yang jelas tips dari penulis agar anda tidak
terjebak ‘investasi saham bodong’ tersebut adalah: 1. Hindari spekulasi,
2. Berinvestasilah dengan akal sehat, jangan mudah tergiur oleh
keuntungan instan, dan 3. Teliti sebelum membeli.
Yeah..
I know, tips-tips diatas mudah untuk dikatakan tapi susaaah sekali
untuk di praktekkan. But well.. just try it, will you? Anyway, artikel
ini sudah kelewat panjang, jadi kita lanjutkan lagi pekan depan.
NB:
Penulis menyelenggarakan layanan konsultasi dan tanya jawab bagi anda
investor/calon investor saham. Keterangan selengkapnya baca disini.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Posted: 28 Feb 2013 04:36 PM PST
Apa
makanan pokok masyarakat di Indonesia? Jawabannya sudah pasti nasi,
kecuali jika anda setuju dengan Menteri Pertanian kita yang menyuruh
masyarakat untuk mengganti nasi dengan singkong (yang bener aja!). Lalu
apa lauk nasi favorit semua orang? Percaya atau tidak, jawabannya adalah
daging ayam, entah itu digoreng, dipanggang, dibikin sup,
ataupun diolah menjadi sosis atau nugget. Yup, daging ayam adalah
makanan kesukaan masyarakat Indonesia dari seluruh strata sosial, mulai
dari buruh pabrik hingga si pemilik pabrik itu sendiri. Rasanya yang
lezat serta harganya yang lebih terjangkau ketimbang jenis daging
lainnya, menyebabkan permintaan akan daging ayam senantiasa meningkat
dari waktu ke waktu, seiring dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk.
Karena bisnisnya memang menarik dan juga prospektif, maka tak heran jika perusahaan-perusahaan peternakan ayam (poultry) dan industri lainnya yang terkait hampir selalu mencatat kinerja yang cemerlang. Sebut saja Charoen Popkhand Indonesia (CPIN), Japfa Comfeed (JPFA), Malindo Feedmill (MAIN), hingga Multibreeder Adirama (MBAI).
Beruntung bagi kita investor pasar saham, keempat perusahaan tersebut
listing di BEI sehingga kita bisa beli sahamnya. Namun memang perusahaan
yang disebut terakhir yaitu MBAI, baru-baru ini delisting dari bursa
setelah diakuisisi oleh Japfa.
Tapi perusahaan ternak ayam yang listing di BEI gak cuma empat perusahaan diatas saja, melainkan masih ada satu lagi yaitu Sierad Produce (SIPD).
Sayangnya seperti yang anda ketahui, SIPD ini entah kenapa kinerjanya
terbilang buruk jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lain di
sektor yang sama, sehingga alhasil, sahamnya pun gak pernah kemana-mana,
melainkan cuma mondar mandir saja di level 50 – 60. Tadinya penulis
sempat berpikir bahwa SIPD ini, meski bidang usahanya memang menarik
namun mungkin perusahaannya hanya berstatus sebagai perusahaan kecil
yang nggak jelas, sehingga wajar jika sahamnya berada di level gocapan.
Namun faktanya, SIPD merupakan perusahaan yang cukup besar dengan aset
Rp3.1 trilyun pada tanggal 30 September 2012, atau hampir satu setengah
kali lebih besar ketimbang MAIN. Tapi anehnya laba bersih SIPD di
periode Sembilan Bulan 2012 cuma Rp17 milyar, alias jauuu...uuh dibawah
laba bersih MAIN di periode yang sama sebesar Rp267 milyar.
Jadi dimana letak masalahnya? Well, sebelum kita membahas itu, mari kita pelajari SIPD ini dari awal terlebih dahulu.
SIPD
didirikan di Jakarta pada tahun 1985, dengan bidang usahanya ketika itu
ekspor dan impor pakan ternak. Perusahaan listing di BEI pada tahun
1996, dan menjadi besar pada tahun 2001 setelah menerima penggabungan
(merger) beberapa perusahaan. Penggabungan tersebut, yang disusul oleh
pengembangan-pengembangan usaha selanjutnya, menjadikan SIPD sebagai
perusahaan ternak ayam yang terintegrasi. Pada saat ini SIPD boleh
dikatakan memiliki semua jenis usaha di industri ternak ayam, mulai dari
memproduksi peralatan ternak, pakan ternak, penetasan telur, ayam umur
sehari (day old chicken/DOC), pembibitan dan pemeliharaan ayam hingga
siap potong, rumah potong ayam, hingga membuat makanan olahan dari
daging ayam (nugget, sosis, dll) dengan merk Belfoods. Tidak hanya sebagai produsen, SIPD juga memiliki beberapa unit usaha di bidang distribusi dan perdagangan ritel (Belmart),
hingga kemitraan ternak ayam dengan peternak perorangan. Satu lagi,
SIPD punya satu unit usaha di bidang produsen tepung ikan, namun
kontribusinya terhadap pendapatan perusahaan secara keseluruhan masih
belum signifikan.
Meski
sudah merambah sektor ternak ayam dari hulu ke hilir, dan ukuran
perusahaannya sendiri sudah cukup besar, namun hingga kini SIPD masih
terus berekspansi. Berikut adalah beberapa rencana pengembangan usaha
yang dipaparkan perusahaan dalam public exposeterakhirnya, tanggal 17 Juli 2012 lalu:
Sebagian
besar dari proyek-proyek diatas dijadwalkan selesai dikerjakan pada
Kuartal III atau IV 2012, dan sudah bisa beroperasi pada awal tahun
2013. So, SIPD ini jelas memiliki prospek yang menarik. Apalagi secara
historis, nilai aset dan pendapatan perusahaan dalam lima tahun terakhir
selalu naik terus. Berikut datanya, angka dalam milyaran Rupiah:
Btw, salah satu indikator dalam analisis fundamental adalah asset turnover
(ATO) alias perputaran aset. Angkanya didapat dari membagi nilai
pendapatan dengan aset perusahaan yang bersangkutan. ATO ini, semakin
besar angkanya maka semakin bagus, karena menunjukkan kemampuan
perusahaan dalam mengoptimalkan asetnya untuk memperoleh omzet yang
sebesar-besarnya. Nah, berikut ini adalah data annualized ATO untuk SIPD dan perusahaan-perusahaan lain di bidang yang sama (CPIN, JPFA, dan MAIN), untuk periode Kuartal III 2012.
Perhatikan,
dari data diatas maka anda bisa melihat bahwa sektor per-ayam-an ini
memang luar biasa, dimana dari keempat perusahaan yang listing di bursa,
kesemuanya mencatat ATO lebih dari 1 kali, atau dengan kata lain,
pendapatan mereka dalam satu tahun sudah lebih besar ketimbang nilai
aset perusahaannya sendiri. Hal yang sama juga berlaku untuk SIPD, yang
mencatat ATO 1.3 kali. Meski angka tersebut memang lebih kecil ketimbang
tiga perusahaan lainnya, namun itu adalah karena aset SIPD telah
meningkat pesat dalam dua tahun terakhir karena proses pengembangan
usaha, sementara peningkatan pendapatannya belum sekencang kenaikan
asetnya tersebut (pendapatan SIPD mungkin baru akan meningkat signifikan
pada tahun 2013 nanti, kalau proyek-proyeknya yang sudah disebut diatas
berjalan lancar). Tapi kalau kita lihat data historisnya, pada tahun
2011 lalu ATO SIPD mencapai 1.5 kali, dan juga sempat mencapai 2.0 kali
pada 2009.
Karena pendapatannya besar, maka otomatis laba bersih dari perusahaan-perusahaan ayam ini seharusnya juga besar. Dan memang begitulah, level return on equity milik CPIN dkk memang sangat baik. Berikut datanya (untuk periode Sembilan Bulan 2012):
Nah,
dari sini barulah kelihatan bahwa SIPD ini ternyata nggak beres. Ketika
tiga perusahaan lainnya mencatat ROE yang terbilang fantastis, SIPD
malah hanya mencatat laba bersih Rp16 milyar (disetahunkan jadi Rp22
milyar), sehingga ROE-nya cuma 1.8%. Masuk akal? Jelas tidak. Pihak
manajemen sempat mengklaim bahwa laba yang sangat kecil tersebut adalah
karena turunnya harga daging ayam dan DOC. Tapi jika memang itu
penyebabnya, lantas kenapa CPIN, JPFA, dan MAIN tidak mengalami masalah
yang sama?
Dan
kalau kita telusuri lebih lanjut, kecilnya laba bersih SIPD ini sudah
terjadi sejak lama. Kalau kita pakai data milik CPIN, JPFA, dan MAIN,
ketiga perusahaan ini rata-rata mencatat net profit margin (NPM, nilai
laba bersih dibanding pendapatan) antara 7 hingga 15%, sehingga
untuk setiap pendapatan sebesar Rp1 milyar, ketiga perusahaan diatas
mampu meraup laba bersih antara Rp70 hingga 150 juta.
Sementara SIPD? Nih, anda lihat sendiri saja datanya:
Perhatikan,
‘rekor’ NPM tertinggi SIPD dicapai pada tahun 2010 lalu, yakni sebesar
1.7%, dan itu tentu saja sangat kecil untuk ukuran perusahaan produsen,
apalagi jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lain di sektor
yang sama.
Lantas
apa masalahnya? Well, entahlah, tapi biaya produksi SIPD memang sangat
mahal sehingga laba SIPD sudah kecil sejak dari laba kotor alias gross profit-nya,
tak peduli sebesar apapun pendapatan perusahaan. Dalam lima tahun
terakhir, margin laba kotor SIPD hanya sekitar 7 – 10%, dan itu sekali
lagi, jauh lebih rendah ketimbang margin laba kotor ketiga perusahaan
ayam lainnya yang mencapai 20% lebih. Ini tentu aneh, karena jika
mempertimbangkan bahwa SIPD juga memiliki anak usaha di bidang
distribusi, maka seharusnya margin labanya bisa lebih besar ketimbang
perusahaan ayam lainnya, karena SIPD tidak harus seperti CPIN dkk yang
menyerahkan proses distribusi produk-produknya kepada pihak ketiga.
Mahalnya
biaya produksi SIPD tersebut, salah satunya adalah karena tingginya
biaya bahan baku pakan ternak. Sayangnya tidak ada info lebih lanjut
mengenai berapa harga per kilo jagung (salah satu bahan baku pakan ayam)
yang dibeli perusahaan, misalnya. Anehnya meski masalah utama SIPD
sejak dulu terletak di biaya produksinya yang selangit, namun dari
berbagai pengembangan usaha yang dilakukan perusahaan selama ini, tidak ada satupun diantaranya yang bertujuan untuk menekan biaya produksi.
Hal ini sangat berbeda dengan salah satu kompetitornya, CPIN, yang
sejak tiga tahun lalu sengaja mengakuisisi sebuah perusahaan perdagangan
jagung dan komoditas lainnya, PT Agrico, untuk tujuan mengamankan
supply dan mengendalikan harga bahan baku pakan ayam.
Tapi
apapun itu, kecilnya laba bersih yang diperoleh SIPD selama ini tentu
saja menyebabkan sahamnya juga jadi nggak kemana-mana. Tak hanya itu,
besarnya pajak yang dibayar perusahaan juga jauh lebih kecil ketimbang
tiga perusahaan lainnya. Berikut datanya untuk periode Sembilan Bulan
2012, angka dalam milyar Rupiah:
|
Langganan:
Postingan (Atom)